THOHAROH / BERSuci
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian
Thaharoh menurut pengertian bahasa serarti suci atau kesucian atau
“bersih/kebersihan”. Kata ini mengandung pengertian yang lebih luas yaitu
mencakup kebersihan atau kesucian dari segala kotoran yang bersifat fisik,
seperti najis, kotoran, kencing dan lain-lain yang bersifat spiritual yaitu
kebersihan dari aib dan kesehatan. Diantara kotoran ynag bersifat jasmaniah
adalah kotoran yang dapat dilihat, dirasa dan diketahui dengan panca indera,
sedangkan kotoran yang bersifar rohaniah adalah perbuatan yang kotor, perbuatan
keji dan bersifat kotor lainnya.
Dalam istilah fiqih, pengertian Thaharoh lebih terkait dengan kebersihan
dan kesucian dari kotoran yang bersifat material, seperti kencing, kotoran,
maupun secara hukum seperti hadats, seseorang dapat bersih dari hadas apabila
telah mandi dan berwudu’.
Thaharoh merupakan suatu aspek yang paling esensial sebelum seseorang
melakukan ibadah.[1] Seperti
termaktub di dalam alqur’an .
Artinya :
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri
(al-A’raf : 82)
Menurut syara’ thaharoh itu ialah
mengangkat atau menghilangkan penghalang yang timbul dari hadas atau najis.[2]
- Syarat-syarat
Wajib Thaharah
1.
Islam
2.
Berakal
3.
Baligh
4.
Berhenti darah haid atau nifas
5.
Telah masuk waktu shalat
6.
Tidak tidur
7.
Tidak lupa
8.
Tidak terpaksa
9.
Adanya air atau debu
10. Dapat melakukan sesuai dengan kemampuan
- Alat-alat
Thaharah
1)
Air
2)
Debu
3)
Batu untuk istinjak
- Air dan
macam-macamnya
1)
Air yang suci dan mensucikan
Seperti : air hujan, air laut, air embun, air sumur yang keluar dari mata
air.
2)
Air suci, tetapi tidak mensucikan
Seperti : air the, air kelapa
3)
Air suci dan mensucikan tetapi
makruh untuk dipakai
Seperti : air yang terjemur matahari dalam bejana selain bejana emas dan
perak.
4)
Air yang kena najis (Mutanajjis)
Bila air yang terkena najis itu kurang dari dua kulah, maka hukumnya
najis, meskipun tidak berubah. Jika air yang kena najis itu mencapai 2 kulah
atau lebih, maka dihukumi najis bila berubah dan dihukumi tidak najis bila
tidak berubah.
- Thaharah
dari Najis
1.
Macam-macam Najis dan cara
Menghilangkannya.
1)
Najis Mughallazah (najis berat)
-
Anjing, babi dan keturunan dari
keduanya
-
Cara menghilangkannya:
Mencuci benda yang kena najis/dibasuh 7x, satu kali dari padanya
hendaklah airnya dicampur dengan tanah.
2)
najis Mukhaffafah (Najis ringan )
Seperti : kencing bayi laki-laki yang belum berusia 2 tahun, belum makan
selain air susu ibunya.
Cara mensucikannya:
Dengan cara memercikkan air diatas benda itu meskipun tidak mengalir
3)
Najis Mutawassitha (najis
pertengahan)
Najis yang lain dari kedua najis di atas.
Seperti : sesuatu (kotoran) yang keluar dari dubur atau kubul manusia dan
binatang, arak dan sebagainya.
Cara mensucikannya:
Dengan mengalirkan air di atas benda yang kena najis serta menghilangkan
zat, rasa, warna dan baunya.[3]
- Benda-Benda
yang Termasuk Najis
1)
Bangkai binatang darat yang
berdarah selain dari mayat manusia
2)
Darah (segala macam darah itu
najis, hati dan limpa)
3)
Nanah
4)
Segala benda cair yang keluar dari
kubul dan dubur
5)
Arak , setiap minuman keras dan memabukkan
6)
Anjing dan Babi
7)
Bagian badan binatang yang diambil
dari tubuhnya selagi hidup.[4]
- Cara-cara
Berthaharoh
- Wudhu’
Wudhu’ adalah mensucikan anggota badan tertentu dengan air untuk
menghilangkan hadas kecil.
a)
Syarat – syarat Wudhu’
a.
islam
b.
tamyiz, yakni dapat membedakan
yang baik dan yang buruk
c.
tidak berhadas besar
d.
dengan air yang suci dan
mensucikan
e.
tidak ada penghalang air sampai ke
seluruh anggota wudhu’
f.
mengetahui mana yang baik dan mana
yang sunnah.
b)
Rukun-rukun Wudhu’
a.
niat
b.
Menbasuh muka
c.
Membasuh kedua tangan sampai
dengan kedua siku
d.
Mengusap sebagian kepala
e.
Membasuh kedua kaki sampai dengan
mata kaki
f.
Tertib
c)
Sunnah Wudhu’
1)
membaca basmalah sebelum berwudhu’
2)
berkumur-kumur
3)
membasuh lubang hidung
4)
mengusap seluruh kepala dengan air
dan lain-lainnya.
d)
Hal-hal yang membatalkan wudhu’
a.
keluarnya sesuatu dari dua jalan
(kubul dan dubur)
b.
hilangnya akal sebab gila, mabuk
c.
bersentuhan antara kulit laki-laki
dengan perempuan yang bukan muhrimnya.
d.
Menyentuh kemaluan.[5]
- Mandi Wajib
1)
Pengertian mandi wajib
Ialah mengalirkan dan meratakan air keseluruh
permukaan (kulit) tubuh dengan niat untuk menghilangkan hadas besar.
Allah Berfirman:
Artinya: “dan jika kamu junub, maka mandilah: (Q.S. al-maidah : 6)
2)
Hal-hal yang menyebabkan mandi
wajib
a.
bersetubuh, sekalipun tidak sampai
keluar sperma
b.
keluar mani (sperma)
c.
haid
d.
nifas
e.
melahirkan (wiladah)
f.
mati, kecuali orang mati syahid.
3)
Rukun –Rukun Mandi Wajib
a.
niat
b.
menghilangkan najis yang ada
dibadan
c.
menyiramkan air keseluruh tubuh
4)
Sunah – Sunah Mandi
a.
membaca basmalah
b.
berwudhu sebelum mandi
c.
menggosok-gosok seluruh badan
- Mandi Sunah
a)
mandi hari jum’at
b)
Mandi 2 hari raya Fitri dan Adha
c)
Mandi ketika hendak ihram,
haji/umrah
d)
Mandi setelah sembuh dari gila
e)
Ketika memasuki Makkah
f)
Mansi ketika masuk kedalam agama
islam
- Tayammum
- Pengertian
Tayammum ialah; mengusapkan tanah ke muka dan kedua
tangan sampai siku dengan beberapa syarat. Tayammum adalah pengganti wudhu dan
mandi sebagai Rukhsah (keringanan) untuk orang yang tidak dapat memakai air
karena beberapa uzur, yaitu:
1)
uzur karena sakit
2)
dalam perjalanan
3)
tidak ada air
- Syarat-syarat Tayammum
1)
sudah masuk waktu shalat
2)
sudah diusahakan mencari air,
tetapi tidak dapat, sedangkan waktu shalat sudah masuk
3)
dengan tanah yang suci dan berdebu
4)
menghilangkan najis
- Rukun Tayammum
1)
niat
2)
mengusap muka dengan tangan
3)
mengusap 2 tangan sampai dua siku
4)
tertib
- Sunnah Tayammum
1)
membaca bismillah
2)
menghembus tanah dari dua tapak
tangan supaya tanah yang diatas tangan menjadi tipis
3)
membaca dua kalimat syahadat
sesuadah bertayammum
- Yang Membatalkan Tayammum
1)
segala hal yang membatalkan wudhu’
2)
mendapatkan air sebelum shalat.[6]
- Menyapu
Sepatu
- Diperbolehkan menyapu sepatu
Menyapu dua sepatu adalah salah satu keringanan yang
dierbolehkan bagi orang yang bermukim dalam jangka waktu sehari semalam, dan
bagi musafir tiga hari tiga malam, masa tersebut terhitung sejak mulai berhadas
(batal wudhu’) sesudah memakai sepatu
- Syarat-syarat menyapu sepatu
Syarat-syarat nya ada empat :
a)
dua sepatu itu dipakai setelah
sempurna dicuci bersih
b)
sepatu itu menutup anggota kaki
yang wajib dibasuh
c)
sepatu itu dapat dipakai berjalan
lama
d)
tidak terdapat najis atau kotoran
dalam sepatu
- Cara menyapu sepatu
a)
mengusap dua sepatu dilakukan
setelah menersihkan anggota wudhu secara urut dan tertib, baru yang terakhir
usap dua sepatu.
b)
Disapukan dibagian atas sepatu
dengan tanpa mengusap bagian bawahnya.[7]
- Hal-hal yang membatalkan menyapu sepatu
Yang membatalkan menyapu sepatu adalah :
a)
apabila kedua sepatu atau salah
satu diantaranya terbuka baik sengaja atau tidak.
b)
Habis masa yang ditentukan
c)
Apabila ia berhadas besar yang
mewajibkan mandi.
- Dampak
Thaharah bagi Ibadah
Setiap orang yang melakukan usaha apa saja ia
menginginkan agar usahanya sukses demikian pula halnya dengan seorang yang
melakukan ibadah, ia menginginkan agar ibadahnya diterima sepenuhnya oleh
Allah, dengan membalas dengan ganjaran yang setimpal.
Ibadah yang dilakukan harus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya,
ini didasarkan atas kebersihan dan kekuasaan. Ibadah yang dilakukan atas dasar
kebersihan dan keabsahannya dan kesohihannya adalah suatu ibadah menurut
pandangan Allah.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa persoalan kebersihan merupakan persoalan yang amat penting dan
mempunyai keterkaitan dengan sah/tidaknya suatu ibadah.[8]
- Kesimpulan
o
Thaharah menurut pengertian
bahasa ialah suci atau kesucian atau bersih / kebersihan
o
Didalam Thaharah ada
beberapa syaratnya thaharah ialah islam, berakal, baligh. Berhenti haid, masuk
waktu, tidak tidur, tidak lupa, tidak terpaksa, adanya air dan debu.
o
Didalam berthaharah yang
terpenting adalah air dan macam-macamnya, thaharah dari najis. Benda-benda yang
termasuk najis, cara-cara berthaharah, tayammum, mnyapu sepatu, dan dampak
thaharah bagi ibadah.
[1] Ahmad
Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami
Seluk Beluk Ibadah dalam Islam, (Bogor :
Kencana, 2003) hlm. 119-120
[2]
Lahmuddin Nasution, Fiqih I, Institut
Agama Islam Negeri Sumatera Utara, hlm. 9.
[3] Muhammad
Syamsi Abu Farhab, S. Saadah (RPAI)
Rangkuman Pengetahuan Agama Islam (Surabaya :
Amelia, 2004), hlm. 17-18.
[4] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 1996) hlm. 16-20
[5] Ibid
[6] Sulaiman
Rasjid, Op. cit., hlm. 39-43.
[7] Rifai’, Pintar Ibadah, (Jombang: Lintas Media,
tth) hlm. 30-31
[8] Ibid