Sejarah Pertumbuhan Ushul Fiqh


BAB I
PENDAHULUAN


            Sebagaimana telah isepakati oleh ulama, meskipun mereka berlainan mazhab, bahwa segala ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik berupa ibadah, muamalah, pidana, perdata atau berbagai macam perjanjian atau pembelanjaan, maka semua itu mempunyai hukum di dalam syari’at islam. Hukum-hukum ini sebagaimana telah dijelaskan oleh berbagai nash yang ada di dalam Al-qur`an dan As-sunnah, akan tetapi syari’at telah menegakkan dalil dan mendirikan tanda-tanda bagi hukum, itu dimana dengan perantaraan dalil dan tanda itu seorang mujtahi mampu mencapai hukum itu dan menjelaskannya.
            Jadi, dengan hadirnya Ushul Fiqh, dapat kita ketahui bagaimana hukum-hukum islam tersebut dan dapat pula mengatasi masalah-masalah antara pendapat para ulama, dengan mengembalikan masalah-masalah cabang kepada asalnya. (mutabi’).

BAB II
PEMBAHASAN


A. Sejarah Pertumbuhan Ushul Fiqh

            Ilmu Ushul Fiqh tidaklah timbul kecuali pada abad ke-2 H, karena pada abad pertama H, ilmu tersebut belum sepenuhnya dibutuhkan. Rasulullah saw, memberikan fatwa dan keputusan hukum berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya, serta berdasarkan ijtihadnya secara naluri tanpa membutuhkan pokok-pokok dan kaedah yang menjadi pedoman untuk beristimbah dan berijtihad. Para sahabat memberikan fatwa dan menetapkan putusan hukum berdasarkan nash yang mereka pahami berdasarkan kemampuan bahasa Arab mereka yang murni, tanpa membutuhkan berbagai. Kaidah kebahasaan yang dapat membing-bing mereka untuk memahami nash. Mereka mengistimbathkan terhadap hal-hal yang tidak ada nashnya berdasarkan kemampuan mereka dalam persyaratan hukum islam yang tertanam di dalam jiwa mereka semenjak mereka berteman dengan Rasulullah. Di samping itu, mereka juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat Al-qur`an dan datangnya hadits-hadits, serta mereka memahami betul terhadap tujuan syari’ dan dasar-dasar persyari’atan hukum.[1]

            Akan tetapi ketika kemenangan islam semakin bertambah luas dan bangsa Arabpun sudah bercampur dengan bangsa-bangsa lain, mereka saling berbicara dan berhubungan melalui tulisan, dan ke dalam bahasa Arab telah masuk  sejumlah kata dan Uslub yang bukan bahasa Arab, maka kemampuan kebahasaan itu tidak lagi tetap dalam kondisi yang murni.
            Demikian pula ketika masa semakin jauh dari fajar pembentukan hukum islam, dan perdebatan ahli hadits dan ahli Ra’yu semakin seru, serta sebagian orang yang memenangkan hawa nafsu (diawal Ahwa’) semakin berarti menjadi hujjah terhadap sesuatu yang tidak bisa dijadikan hujjah, maka semua ini mendorong untuk menyusun berbagai ketentuan dan berbagai kajian terhadap dalil-dalil syar’I, syarat-syarat beristdlal dengannya dan cara menggunakan dalilnya. Dari komplikasi pengkajian penggunaan dalil ini dn ketentuan-ketentuan kebahasaan itu, terbentuklah ilmu Ushul Fiqh.
            Akan tetapi pada mulanya ia tumbuh sebagai sesuatu yang keil, sebagaimana setiap anak yang baru lahir juga didapati dalam keadaan kecil pada awal pertumbuhannnya, kemudian sedikit demi sedikit meningkat pertumbuhannya maka hingga perjalanannya mencapai usia dua ratus tahun, maka mulai ia bertambah subur, tersebar dan terpencar disela-sela hukum Fiqh.
            Adapun orang yang pertama kali mengadakan kodifikasi itu, beliau menulis kitab “Ar-Risalah” yang berisi Ushul Fiqh yang diriwayatkan oleh temannya yaitu : Ar-Rabi Al-Muradi. Kitab ini merupakan kodifikasi pertama dalam ilmu ini yang sampai kepada kita. Oleh karena itu yang terkenal sebagai peletak ilmu Ushul Fiqh di kalangan ulama adalah Asy-Syafii’.

B. Perkembangan Ushul Fiqh

  1. Pada masa sahabat
            Sejak pada masa sahabat ilmu Ushul Fiqh dan ilmu Fiqh (al-ijtihad) sudah tombul. Para sahabat seperti Umar Ibn Al-Khattab, Ali Ibn Abi Thalib dan Ibn Mas’ud telah menggunakan cara-cara penggalian hukum ini. Akan tetapi pada masa itu, metode tersebut belum dikenal sebagai Ushul Fiqh. Berikut ini, diuraikan beberapa contoh penggunaan metode untuk mengeluarkan hukum dari dalil yang dilakukan oleh beberapa sahabat.[2]
a.       Ali bin Abi Thalib memberikan hukuman yang sama kepada peminum khamar dan penuduh pejina dengan alasan.
                                             ﻑ ﺪﻗ ﻯ ﺬﻫ ﺍﺫ ﺍﻭ ﻯﺫﻫ ﺏﺭﺷ ﺍﺫ ﺍ ﻪﻧﺍ
Artinya : “Sesungguhnya apabila orang itu minum khamar, dia mengigau dan apabila mengigau dia menuduh”.
            Jadi, sangsi peminum khamar dan penuduh zina yaitu 80 kali cambuk
b.      Ibn Mas’ud menetapkan iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya sampai melahirkan, dengan dasar :
                                   ﻥﻬﻟﻣﺣ ﻦﻌﺿﺑ ﻥ ﺍ ﻥﻬﻟﺠ ﺍ ﻞ ﺎﻤﺣﻻﺍ ﺖ ﻻﻮ ﺍﻭ
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Al-Thalq : 4)
            Sedang surat Al-Baqarah ayat 234, menyatakan :
                   ﻥﻬﺴﻓﻧ ﺄﺒ ﻦﺻﻴ ﺭﺘﺠ ﺎﺠﻮﺯ ﺍ ﻥﻭﺮ ﺫﻴﻮ ﻡﻜﻧﻣ ﻥﻮﻔﻭﺘﻴ ﻦﻳ ﺫﻟﺍﻭ
                                                                  ﺍﺭﺷﻋﻮﺭﻬﺸ ﺍ ﺔﻌﺑﺭﺍ
Artinya : “Orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri, hendaklah para istri itu beriddah empat bulan sepuluh hari. (Al-Baqarah : 234)

  1. Pada Masa Tabi’in
            Pada masa tabi’in, penggunaan Ushul Fiqh ini lebih luas. Sebagai contoh, su’ad Ibn Al-Musayyab di Madinah atau Al-Qamah dan Ibrahim Al-nakha’iy di Irak. Di antara mereka ada yang menggunakan mashlahan dan ada juga yang menggunakan qiyas apabila mereka tidak mendapatkan suatau nash sebagai dasar hukum.

  1. Pada Masa Imam-Imam Mujtahidin
            Pada masa Imam-Imam mujtahidin, penggunaan Ushul Al-Fiqh lebih jelas lagi. Dalam masa ini, ditetapkan pula mengenai istinbath. Abu hanifah, misalnya, menggunakan suber al-Kitab, al-Sunnah dan fatwa sahabat.
            Kemudian pada kurun berikutnya, lahir ulama besar, Muhammad Ibn Idris Al-Syafii’, yang berusaha membukukan Ilmu tersebut. Dan ia menemukan perbedaan antara Fiqh Madinah dengan Fiqh Irak dan alat ukur yang digunakan adalah Ushul Al-Fiqh.
            Dengan demikian, pembukuan Fiqh yang berarti berisi materi hukum, dibukukan lebih dahulu dari pada pembukuan. Ushul Al-Fiqh, yang merupakan metode atau cara yang ditempuh supaya sedapat mungkin terlepas dari kesalahan dalam ber-istinbath.

  1. Pada Masa Sesudah Imam-Imam Mujtahid
            Sesudah Imam Syafii’, para ulama kadang-kadang hanya memberi syara atau menjelaskan yang mujmal dari kitab Ushul Al-Fiqh karya al-syafi’i. Di kalangan ahli-ahli Ushul Fiqh terdapat dua aliran yang berbeda. Pertama, Ushul Al-Mutakallimin. Mereka menetapkan ukuran-ukuran tanpa dikaitkan dengan furu’ bagi mereka apakah kaidah menguatkan atau melemahkan furu’ tidak menjadi masalah.
            Kedua, Ushul Al-Ahnaf. Pembahasan mereka dalam Ushul Al-Fiqh selalu menjaga furu’. Mereka membuat ukuran-ukuran yang menggunakan mazhab.
            Kitab-kitab yang ditulis dengan cara yang pertama diantaranya :
  1. Al-Mu’ tamad karangan Muhammad Husayn Ibn Ali basriy (wafat 463 M)
  2. Al-Burhan karangan Imam Al-Haramayn (wafat 487 H)
  3. Al-Mustashfa karangan Al-Ghazali (wafat 505 H)

Adapun ditulis dengan cara yang kedua diantaranya :
a.       Kitab Ushul Abu Bakar Ahmad Al-Jashash (wafat 370 H)
b.      Kitab Zayd ‘ubay dan Allah Ibn Umar (wafat 430 H)
c.       Kitab Syams Al-A’immah Ibn Ahmad Al-Sarkhasyiy (wafat 483 H).





BAB III
PENUTUP



A. Kesimpulan
            Dari beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan pada mulanya Ushul Fiqh tumbuh dari yang terkecil, kemudian berkembang dan terus berkembang dan bertambah luas bersama dengan pertumbuhan agama islam. Dan yang penting untuk diperhatikan bahwa pengkajian Ushul Fiqh dan kaidah-kaidahnya bukanlah merupakan sekedar bahasan tetapi ia hanyalah sejumlah alat dan sarana yang dipergunakan oleh pembuat hukum untuk memelihara kemaslahatan umum dan berdiri pada ketentuan Illahi dalam penetapan syariatnya.


[1] Moh. Zuhri, dkk. Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dina Utama, 1994), hlm. 9       
[2] A. Djazali dan Nurol Aen. Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 7

Postingan populer dari blog ini

TO BE AND AUXILIARY VERB

ISLAM SEBAGAI AJARAN, PEMAHAMAN DAN PENGAMALAN

Etika Guru Terhadap Atasan (Pemimpin)