Perihal Anak Bermasalah (Perkembangan Peserta Didik)
BAB I
PENDAHULUAN
Sekolah
sebagai miniatur masyarakat menampung bermacam-macam siswa dengan latar
belakang kepribadian yang berbeda. Mereka heterogen sebab diantara mereka ada
yang miskin, ada yang kaya, bodoh dan pintar, yang suka patuh dan suka
menentang, juga di dalamnya terdapat anak-anak dari kondisi keluarga yang
berbeda.
Dari
uraian di atas jelaslah perbedaan individual diantara mereka. Ringkasnya dapat
disimpulkan bahwa urgensinya meliputi adanya pemahaman secara lebih menyeluruh
dan mendalam tentang perbedaan-perbedaan individual tersebut, pengenelan diri
apabila ada kecenderungan penyimpangan perilaku diantara para siswa dan
mengetahui teknik-teknik menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
Namun,
untuk lebih jelasnya pembahasan perihal anak bermasalah ini, penulis akan
menguraikannya pada BAB berikutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perihal Anak Bermasalah
1. Urgensi Pembahasan Anak Bermasalah
Sekolah
sebagai miniatur masyarakat menampung bermacam-macam siswa dengan latar
belakang kepribadian yang berbeda. Mereka heterogen, sebab diantara mereka ada
yang miskin, ada yang kaya, bodoh dan pintar, yang suka patuh dan suka
menentang, juga di dalamnya terdapat anak-anak dari kondisi keluarga yang
berbeda. Inilah yang dimaksud dengan perbedaan individual diantara mereka.
Sesuai dengan asas perbedaan individual
di atas maka ada pula diantara mereka sejumlah siswa yang diketegorikan sebagai
siswa yang bermasalah. Dari pembahasan ini jelaslah bahwa urgensi pembahasan
anak bermasalah dalam kajian psikologi pendidikan tak dapat diabaikan. Secara
ringkas dapat disimpulkan bahwa urgensinya meliputi adanya pemahaman secara
lebih menyeluruh dan mendalam tentang perbedaan-perbedaan individual.
Pengenalan diri apabila ada kecenderungan penyimpangan prilaku diantara para
siswa dan mengetahui teknik-teknik menyelesaikan masalah-masalah yang mereka
hadapi.[1]
2. Defenisi Anak Bermasalah
Seorang
siswa dikategorikan sebagai anak bermasalah apabila ia menunjukkan
gejala-gejala penyimpangan dari perilaku yang lazim dilakukan oleh anak-anak
pada umumnya.
Penyimpangan perilaku ada yang
sederhana ada juga yang ekstrim. Penyimpangan perilaku yang sederhana semisal :
mengantuk, suka menyendiri, kadang terlambat datang, sedangkan ekstrim ialah
semisal : sering membolos, memeras teman-temannya, ataupun tidak sopan kepada
orang lain juga kepada gurunya.[2]
3. Sebab-Sebab Bermasalah
Banyak
orang yang berpandangan bahwa apa yang ada adalah merupakan suatu aksi yang
akan menimbulkan reaksi. Bahwa apa yang terjadi pada para siswa adalah
semata-mata perilaku mereka sendiri yanglepas dari latar belakang yang
menyebabkannya.
Seorang anak atau siswa yang mengantuk
di dalam kelas misalnya, hal ini sering diterima sebagai kemalasan murid yang
terpuji. Padahal pada hakikatnya tidaklah selamanya demikian. Seorang murid
terpaksa mengantuk dalam kelas bisa jadi kareka kelelahan dari semalam bekerja
membantu orang tuanya.
Secara garis besar pangkal soal
masalah-masalah siswa dapat dikelompokkan menjadi dua : Internal dan Eksternal
a. Internal
Sebab-sebab internal ialah
sebab-sebab yang berpangkal dari kondisi si murid itu sendiri. Hal ini bisa
bermula dari adanya kelainan fisik maupun kelainan psikis.
a) Kelainan fisik
Anak-anak yang menderita kelainan
fisik akan merasa tertolak untuk hadir ditengah-tengah temannya yang normal.
Sebagai contoh si Udin yang terlalu gemuk akan jadi bahan ejekan teman-temannya.
Hal ini membuatnya merasa tak aman untuk hadir ditengah-tengah temannya.
Kelainan
fisik amatlah banyak bentuknya. Diantaranya ialah buta, bermata satu, bisu
tuli, kaki kecil satu atau bahkan lumpuh total.
Agar
mereka tidak tersisihkan diantara teman-temannya yang normal, maka demi masa
depannya negara menyelenggarakan pendidikan yang khusus buat mereka.
b) Kelainan psikis
Yang dimaksud dengan kelainan psikis
ialah kelainan yang terjadi pada kemampuan brpikir (kecerdasan) seorang anak.
Kelainan ini baik secara inferior (lemah) maupun suferior(kuat).
Tak
dapat dipungkiri bahwa anak-anak memang memiliki taraf kecerdasan (IQ) yang
berbeda-beda. Kelainan inferior dalam kecerdasan meliputi : ideot, embisil,
debil, border line, dan bodoh. Anak-anak seperti ini akan sangat tersiksa bila
dikumpulkan dalam suatu kelas dengan anak-anak yang superior. Begitu juga
sebaliknya, orang genius akan merasa tertekan apabila disatu ruangkan dengan
anak-anak yang inferior.
Alternatif
terbaik untuk mereka adalah dengan mengumpulkan mereka pada satu kelas
tersendiri bahkan satu sekolah khusus yang mendidik mereka.[3]
Kelainan
psikis lainnya :
a) Anak-anak yang
tegang
Sering kita melihat anak-anak yang
tingkah lakunya mengimplikasikan penyaluran ketegangan jiwanya atau usaha
pengendoran dari ketegangan. Gejala-gejala yang sering tampak biasanya berwujud
tingkah laku tidak tenang, gerak-gerik yang tidak lancar, pandangan mata yang
menunjukkan ketidak bahagiaan (kesedihan), menggigit-gigit pensil, menghisap
ibu jari dan menggigit kuku.
Guru atau orang tua perlu meluangkan
waktunya khusus untuk mengetahui mengapa anak tersebut melakukan yang demikian.
Apakah ada kemungkinan anak itu mempunyai masalah yang terpecahkan ? Apakah ada
kekecewaan yang dialami anak, baik ditinjau dari segi pemenuhan kebutuhan
jasmaniah atau kejiwaan. Bahaya atau sebabnya masih baru diketemukan, dan untuk
mendorongnya maka masalahnya perlu dihadapi oleh anak maupun pendidik. Agar
dapat dicari jalan keluar sebaik-baiknya.
b) Anak yang agresif
Anak yang selalu mengganggu di kelas
tentu mempunyai masalah sendiri. Sebelum kita dapat mengadakan langkah-langkah
pertolongan terhadap anak tersebut, sebaiknya diketahui sebab-sebab mengapa
anak itu bersifat agresif ? Sifat agresif sering disebabkan oleh : perlakuan
orang tua, kompetisi, iri antara kakak beradik, kondisi di dalam rumah atau
sekolah. Dan sebagai faktor yang lebih dasar ialah adanya kebutuhan pokok anak,
yaitu kebutuhan akan kasih sayang, penghargaan, pengakuan yang tidak terpenuhi
dengan semestinya.
Tindakan menolong perlu dilatar
belakangi pemahaman tentang keadaan dan kebutuhan kejiwaan anak, dilaksanakan
dengan hati-hati, dengan sikap dan tindakan yang dipikirkan secara masak dengan
mempertimbangkan persoalan dan tujuan yang ingin dicapai maupun akibat dari
pertolongan ini.
c) Anak yang pemalu
dan menyendiri
Sebab-sebab anak berperangai
demikian ialah :
-
Sebab-sebab
jasmaniah : kekurangan daya tahan, penglihatan atau pendengaran kurang baik.
-
Perwujudan bentuk tubuh atau roman muka kurang
menarik, pakaian tidak dapat menyamai atau mengikuti teman lain atau mode, dan
lain-lain.
-
Kemampuan dan keterampilan intelegensi
(kecerdasan) ketinggalan atau tidak dapat menyamai teman-teman sekelasnya.
-
Kegagalan yang terus-menerus, tidak disertai
dengan keberhasilan.
-
Tidak memiliki keterampilan-keterampilan tertentu
yang dapat menarik penghargaan teman-teman sebayanya.
-
Guru yang keras dan meminta atau menuntut terlalu
banyak.
-
Mempunyai kakak laki-laki atau perempuan yang
diperlakukan berbeda dengan kita.[4]
Sebab-sebab eksternal ialah
sebab-sebab yang hadir dari luar si murid, terdiri dari :
a) Keluarga
Lingkungan keluarga adalah
lingkungan yang pertama kali oleh anak. Di dalam keluarga anak mulai tumbuh
sejak lahir. Pada waktu kecil inilah adanya apa yang disebut Media
Montessori sebagai masa peka, sedangkan Dr. Zakiah Darodjat
memberikan istilah adanya persepsi dasar.
Orang tua yang otoriter akan
memperlakukan anak-anaknya secara otoriter. Perlakuan ini akan berkesan dalam
jiwa anak sebagai persepsi dasar. Sebagai kelanjutannya ialah bahwa anak
tersebut akan tumbuh dan berkembang sebagai anak yang otoriter dan keras
kepala.
b) Pergaulan
Lingkungan kedua yang dikenal oleh
anak adalah lingkungan masyarakat atau lingkungan pergaulan anak-anak yang
telah didik baik oleh orang tuanya.
Seorang anak yang dididik untuk
jujur akan merasa jengkel jika ternyata teman-temannya suka berbohong. Dia
dihadapkan pada dua pilihan, jujur sesuai dengan dididikan orang tua tapi tak
diterima oleh kelompok atau ikut berbohong agar diterima oleh kelompok meskipun
bertentangan dengan batinnya.
Lingkungan pergaulan juga mempunyai
andil yang sangat berarti bagi perkembangan psikis anak. Jika lingkungan baik
anak cenderung menjadi baik. Jika, lingkungan jelek anakpun ada kecenderungan
ikut jelek.
c) Pengalaman hidup
Pepatah mengatakan “Pengalaman
adalah guru yang terbaik”. Pepatah ini mengajarkan bahwa, pengalaman-pengalaman
masa lalu tak akan pernah hilang. Semuanya tersimpan rapi dalam ruang ingatan.
Anak-anak yang bodoh sering tak
diperhatikan oleh gurunya. Suatu saat dia membuat keonaran dan ternyata dengan
cara itu ia diperhatikan oleh gurunya. Tetapi, hakikatnya dia juga tak menyukai
keonaran itu tapi apa boleh buat. Karena hanya itulah satu-satunya cara yang ia
tempuh untuk menarik perhatian gurunya.[5]
4. Bentuk-Bentuk Masalah
Bentuk-bentuk
masalah yang dihadirkan siswa dapat dibagi menjadi dua sifat. Regresif dan
agresif. Bentuk-bentuk yang bersifat regresif antara lain : suka menyendiri,
pemalu, penakut, mengantuk, tak mau masuk sekolah. Sedangkan yang bersifat
agresif antara lain ialah : berbohong, membuat onar, memeras temannya,
beringas, dan perilaku-perilaku lain yang bisa menarik perhatian orang.
Perilaku
yang bersifat regresif biasanya ditunjukkan oleh anak dengan kepribadian
introvert, sedangkan yang bersifat agresif biasanya ditunjukkan oleh anak-anak
dengan kepribadian yang extrovert.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah
kita membaca dan membahas makalah ini, penulis dapat menyimpulkan beberapa
kesimpulan, yaitu :
1.
Bahwa siswa
dikategorikan sebagai anak yang bermasalah apabila ia menunjukkan gejala-gejala
penyimpangan dari perilaku yang lazim dilakukan oleh anak-anak pada umumnya.
2.
Secara garis
besar sebab-sebab masalah siswa dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
-
Internal
Sebab
internal bermula dari adanya kelainan fisik maupun psikis
-
Eksternal
Sebab-sebab
eksternal ini bermula dari keluarga, pergaulan, pengalaman hidup.
3. Bentuk-bentuk masalah yang dihadirkan
siswa dapat dibagi menjadi dua sifat, yaitu :
-
Regresif
-
Agresif
[1] M.
Dalyono. Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005),
hlm.259-260
[2]
Mustaqim dan Abdullah Wahib. Psikologi Pendidikan, (Jakarta : Rineke
Cipta, 1991), hlm. 138
[3] Ibid.,
hlm. 138-140
[4]
Kartono, Kartini. Bimbingan Bagi Anak dan Remaja Yang Bermasalah, (Jakarta
: Rajawali Press, 1991), hlm. 2-5
[5] M.
Dalyono. Op. cit., hlm. 263-264
[6]
Mustaqim dan Abdul Wahib. Op. cit., hlm. 142-143