FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM
- Pengertian Filsafat, Pendidikan
dan Filsafat Pendidikan Islam
1.
Filsafat dan filsafat Pendidikan Islam
Secara
harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan
kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat
berarti cinta cinta terhadap ilmu atau hikmah.
Terhadap pengertian seperti ini
al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan
cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya
dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa
filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab
dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Selain
itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata
Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos
berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti
pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia berarti cinta
kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut Pholosopher
yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Sementara
itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah
mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal
sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa
kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dar segi kebahsan atau
semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian
filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau
kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Filsafat
juga memilki pengertian dari segi istilah atau kesepakatan yang lazim digunakan
oleh para ahli, atau pengertian dari segi praktis. Selanjutnya bagaimanakah
pandangan para ahli mengenai pendidikan dalam arti yang lazim digunakan dalam
praktek pendidikan.Dalam hubungan ini dijumpai berbagai rumusan yang
berbeda-beda. Ahmad D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani si – terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Berdasarkan rumusannya ini, Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu 1)
Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan atau pertolongan yang
dilakukan secara sadar. 2) Ada
pendidik, pembimbing atau penolong. 3) Ada
yang di didik atau si terdidik. 4) Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan
tersebut, dan. 5) Dalam usaha tentu ada alat-alat yang dipergunakan.
Sebagai
suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif
dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan
sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi
pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya
mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan
diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan
hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk
mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat
tersebut adalah al Qur’an dan al Sunnah. Sebagai sumber ajaran, al Qur’an
sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang
besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran.
Demikian
pula dengan al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui memberikan
perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah
mencanangkan program pendidikan seumur hidup ( long life education ).
Dari uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya
bersumber pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi
di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini
ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini
di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan
orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan,
serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
“ Dan demikian kami
wahyukan kepadamu wahyu (al Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu
tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al Qur’an itu
cahaya yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu
benar-benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang benar ( QS. Asy-Syura : 52
)”
Dan Hadis dari Nabi
SAW :
“ Sesungguhnya orang
mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat
kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal pikirannya,
serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh
kemenangan ia” (al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)”
Dari ayat dan hadis di
atas tadi dapat diambil kesimpulan :
1. Bahwa al Qur’an
diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kearah jalan hidup yang
lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk kearah jalan yang diridloi
Allah SWT.
2. Menurut Hadist
Nabi, bahwa diantara sifat orang mukmin ialah saling menasihati untuk
mengamalkan ajaran Allah, yang dapat diformulasikan sebagai usaha atau dalam
bentuk pendidikan Islam.
3. Al Qur’an dan Hadist tersebut menerangkan bahwa nabi adalah
benar-benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga beliau memerintahkan
kepada umatnya agar saling memberi petunjuk, memberikan bimbingan, penyuluhan,
dan pendidikan Islam.
Bagi
umat Islam maka dasar agama Islam merupakan fondasi utama keharusan
berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran Islam bersifat universal yang
kandungannya sudah tercakup seluruh aspek kehidupan ini. Pendidikan dalam arti
umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan
pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada
generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan
bersama, dengan sebaik-baiknya.
Corak
pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak
penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap
untuk memasuki lapangan penghidupan itu. Pendidikan itu memang suatu usaha yang
sangat sulit dan rumit, dan memakan waktu yang cukup banyak dan lama, terutama
sekali dimasa modern dewasa ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori
dan pemikiran dari para ahli pendidik dan juga ahli dari filsafat, guna
melancarkan jalan dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam
menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta didik.
Kalau
teori pendidikan hanyalah semata-mata teknologi, dia harus meneliti
asumsi-asumsi utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan
praktek pendidikan yang melaksanakan studi seperti itu sampai batas tersebut
bersifat dan mengandung unsur filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul
dari setiap dua tendensi itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan
buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang telah dipertimbangkan sebelumnya
didalam sistem pendidikan, hanya untuk membuktikan bahwa mereka dapat
menyempurnakan suatu hasil dengan sukses, yang ada pada hakikatnya belum
dipertimbangkan dengan hati-hati sebelumnya. Sedangkan para ahli filsafat
pendidikan, sebaiknya mungkin tersesat dalam abstraksi yang tinggi yang penuh
dengan debat tiada berkeputusan,akan tetapi tanpa adanya gagasan jelas buat
menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang ideal.
Tidak
ada satupun dari permasalahan kita mendesak dapat dipecahkan dengan cepat atau
dengan mengulang-ulang dengan gigih kata-kata yang hampa. Tidak dapat
dihindari, bahwa orang-orang yang memperdapatkan masalah ini, apabila mereka
terus berpikir,yang lebih baik daripada mengadakan reaksi, mereka tentu akan
menyadari bahwa mereka itu telah membicarakan masalah yang sangat mendasar.
Sebagai ajaran (doktrin) Islam mengandung sistem nilai diatas mana proses pendidikan
Islam berlangsung dan dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya. Sejalan
dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikir-pemikir sesepuh muslim, maka
sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan
islam yang memiliki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan.
Pendidikan
Islam mengidentifikasi sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al
Quran dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia :
1) Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya
ditengah-tengah makhluk lain serta tanggung jawab dalam kehidupannya.
2) Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat,
serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya.
3) Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya
untuk beribadah kepada Nya
Menyadarkan manusia
tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah
tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia
untuk mengambil manfaatnya
Setelah
mengikuti uraian diatas kiranya dapat diketahui bahwa Filsafat Pendidikan Islam
itu merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat
dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al Qur’an dan al Hadist sebagai
sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai
sumber sekunder. Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat
dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau
filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang
bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran
filsafat pada umumnya.
Setiap
orang memiliki filsafat walaupun ia mungkin tidak sadar akan hal tersebut. Kita
semua mempunyai ide-ide tentang benda-benda, tentang sejarah, arti kehidupan,
mati, Tuhan, benar atau salah, keindahan atau kejelekan dan sebagainya.
1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap
kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi tersebut
menunjukkan arti sebagai informal.
2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap
kepercayaan yang sikap yang sangat kita junjung tinggi. Ini adalah arti yang
formal.
3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
4) Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta
penjelasan tentang arti kata dan konsep.
5) Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsumg yang
mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli
filsafat.
Dari beberapa definisi
tadi bahwasanya semua jawaban yang ada difilsafat tadi hanyalah buah pemikiran
dari ahli filsafat saja secara rasio.
Banyak
orang termenung pada suatu waktu. Kadang-kadang karena ada kejadian yang
membingungkan dan kadang-kadang hanya karena ingin tahu, dan berfikir
sungguh-sungguh tentang soal-soal yang pokok. Apakah kehidupan itu, dan mengapa
aku berada disini? Mengapa ada sesuatu? Apakah kedudukan kehidupan dalam alam
yang besar ini ? Apakah alam itu bersahabat atau bermusuhan ? apakah yang
terjadi itu telah terjadi secara kebetulan ? atau karena mekanisme, atau karena
ada rencana, ataukah ada maksud dan fikiran didalam benda .
Semua
soal tadi adalah falsafi, usaha untuk mendapatkan jawaban atau pemecahan
terhadapnya telah menimbulkan teori-teori dan sistem pemikiran seperti
idealisme, realisme, pragmatisme.
Oleh
karena itu filsafat dimulai oleh rasa heran, bertanya dan memikir tentang
asumsi-asumsi kita yang fundamental (mendasar), maka kita perlukan untuk
meneliti bagaimana filsafat itu menjawabnya.[1]
2. Pengertian Pendidikan
Definisi pendidikan menurut para ahli,
diantaranya adalah :
Menurut Juhn Dewey,
pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin
akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang
muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan
kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari
orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.
(A. Yunus, 1999 : 7)
Menurut H. Horne,
pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih
tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang
bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar
intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia.
(A. Yunus, 1999 : 7)
Menurut Frederick J.
Mc Donald, pendidkan adalah suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk
merubah tabiat (behavior) manusia. Yang dimaksud dengan behavior adalah setiap
tanggapan atau perbuatan seseorang, sesuatu yang dilakukan oleh sesorang.
(A. Yunus, 1999 : 7-8)
Menurut M.J.
Langeveld, pendidikan adalah setiap pergaulan yang terjadi adalah setiap
pergaulan yang terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan lapangan
atau suatu keadaan dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung.
(A. Yunus, 1999 :
Definisi Pendidikan Menurut
Islam
Pendidikan
Islam itu sendiri adalah pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah
teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah
teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu
ilmu bukanlah hanya teori.
(Nur Uhbiyati, 1998)
Pengertian pendidikan
bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan
sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu
seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap
hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis)
maupun mental, dan sosial sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah
peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya
suatu pandangan hidup, sikap hidup, atau keterampilan hidup pada salah satu
atau beberapa pihak, yang kedua pengertian ini harus bernafaskan atau dijiwai
oleh ajaran dan nilai-nilai Islam yang bersumber dari al Qur’an dan Sunnah
(Hadist).[2]
SEJARAH FILSAFAT
1. Masa Yunani
Yunani terletak di Asia Kecil. Kebiasaan
mereka hidup sebagai nelayan mewarnai
kepercayaan yang dianutnya, yaitu kekuatan. Hubungan manusia dengan Sang Maha
Pencipta bersifat formalitas. Artinya, kedudukan Tuhan terpisah dengan kehidupan
manusia. Kepercayaan, yang bersifat formalitas ini ditentang oleh Homerus dengan
dua buah karyanya yang terkenal; yaitu Ilias dan Odyseus; memuat
nilai-nilai yang tinggi dan bersifat edukatf. Ahli pikir pertama kali yang
muncul adalah Thales (+ 625 – 545 SM) yang berhasil mengembangkan geometri dan
matematika; Liokippos dan Democritos mengembangkan teori materi; Hipocrates
mengembangkan ilmu kedokteran, Euclid mengembangkan geometri deduktif; Socrates
mengembangkan teori tentang moral; Plato mengembangkan teori tentang ide;
Aristoteles mengembangkan teori yang menyangkut dunia dan benda dan berhasil
mengumpulkan data 500 jenis binatang (ilmu nbiologi). Suatu keberhasilan yang
luar biasa dari Aristoteles adalah menemukan sistem pengaturan pemikiran (logika
formal) yang sampai sekarang masih dkenal.
2. Masa Abad Pertengahan
Masa ini diawali dengan lahirnya filsafat
eropa. Pemikiran filsafat abad pertengahan didominasi oleh agama. Maka
dirikanlah sekolah- sekolah yang memberi pelajaran gramatika, dialektika,
geometri, aritmatika, astronomi, dan musik. Pada abad ke 6 M. Di kalangan para
ahli pikir islam (periode filsafat Skolastik islam) muncul : Al-Kindi,
Al-Farabi, Al-Gazali, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd. Periode Skolastik
islam ini berlangsung tahun 850-1200. Mereka mengadakan perpaduan dan
sinkretisme antara agama dan filsafat. Kemudian pikiran-pikiran ini masuk ke
Eropa yang merupakan sumbangan islam yang paling besar. Peralihan dari abad
pertengahan ke abad modern dalam sejarah filsafat disebut sebagai masa
peralihan (masa transisi), yaitu munculnya Renaissance dan Humanisme
yang berlangsung pada abad 15-16.
3. Masa Abad Modern
Pada masa abad modern ini berhasil
menempatkan manusia pada tempat yang sentral dalam pandanan kehidupan sehingga
corak pemikirannya antroposentris, yaitu pemikiran filsafatnya mendasarkan pada
akal fakir dan pengalaman. Rene Descartes (1596-1650) sebagai bapak filsafat
modern yang berhasil memadukan antara metode ilmu alam dengan ilmu pasti ke
dalam pemikiran filsafat. Pada abad ke-18,
perkembangan pemikiran filsafat mengarah pada filsafat ilmu pengetahuan.
Tokoh-tokohnya antara lain Geoge Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776),
Rousseau (1722-1778). Di Jerman muncul Chirstian Wolft (1679 – 1754) dan
Immanuel Kant (1754 – 1804), yang mengupayakan agar filsafat menjadi ilmu pengetahuan
yang pasti dan berguna. Abad ke-19, perkembangan pemikiran filsafat terpecah
belah. Ada filsafat
Amerika, filsafat Prancis, filsafat Inggris, filsafat Jerman. Tokohtokohnya adalah
: Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883), August Comte (1798-1857), JS. Mill
(1806-1873), John Dewey (1858-1952).
4. Masa Abad Dewasa Ini (Filsafat Abad
ke-20)
Filsafat Dewasa Ini atau Filsafat Abad
Ke-20 juga disebut Filsafat Kontemporer. Ciri khas pemikiran filsafat ini
adalah desentralisasi manusia.
Dalam bidang bahasa terdapat pokok-pokok
masalah, yaitu arti kata-kata dan arti pernyataan-pernyataan. Maka, timbullah
filsafat analitika, yang di dalamnya membahas tentang cara mengatur pemakaian
kata-kata / istilah-istilah karena baha sebagai objek terpenting dalam
pemikiran filsafat, para ahli pikir menyebutnya sebagai logosentris. Para paruh
pertama abad ke-20 ini timbul aliran-aliran kefilsafatan, seperti Neo-Thomisme,
Neo-Kantianisme, Neo-Hegelianisme, Kritika Ilmu, Historisme, Irasionalisme,
Neo-Vitalisme, Spiritualisme, Neo-Positivisme. Pada Awal belahan akhir abad
ke-20 muncul aliran-aliran kefilsafatan yang lebih dapat memberikan corak
pemikiran dewasa ini, seperti filsafat Analitik, Filsafat Eksistensi,
Strukturalisme, Kritika Sosial.[3]
- Metode Filsafat dan Filsafat
Pendidikan Islam
Aliran
filsafat pendidikan progresivisme secara garis besar dapat diuraikan menjadi
beberapa pokok yaitu:
- Menolak praktek pendidikan tradisonal yang dianggap terlalu
mementingkan disiplin, pasif, dan bertele-tele.
- Perubahan merupakan inti dari
kenyataan.
- Pendidikan merupakan proses
perubahan.
- Metode atau kebijakan senantiasa
berubah sesuai dengan perubahan lingkungan.
- Mutu terletak pada adanya
kemampuan untuk merekonstruksi pengalaman terus menerus, bukan pada
standar kebaikan, kebenaran, dan keindahan yang abadi.
- Pendidikan hendaklah merupakan kehidupan itu sendiri,
bukan persiapan untuk hidup.
- Belajar disangkutpautkan dengan minat
subjek didik.
- Belajar melalui pemecahan masalah
lebih utama daripada belajar pasif.
- Peranan pendidik bukan menuntun
namun lebih sebagai pemberi nasihat.
- Sekolah hendaknya mengembangkan
kerjasama bukan persaingan. Adanya demokrasi memungkinkan saling
tukar menukar ide secara bebas yang amat berguna bagi perkembangan subjek
didik. (Materi kuliah Filsafat Pendidikan)[4]
Metode
Filsafat Pendidikan Islam
Sebagai
suatu metode, pengembangan filsafat pendidikan Islam biasanya memerlukan empat
hal sebagai berikut :
Pertama, bahan-bahan
yang akan digunakan dalam pengembangan filsafat pendidikan. Dalam hal ini dapat
berupa bahan tertulis, yaitu al Qur’an dan al Hadist yang disertai pendapat
para ulama serta para filosof dan lainnya ; dan bahan yang akan di ambil dari
pengalaman empirik dalam praktek kependidikan.
Kedua, metode
pencarian bahan. Untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis dapat
dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang masing-masing
prosedurnya telah diatur sedemikian rupa. Namun demikian, khusus dalam
menggunakan al Qur’an dan al Hadist dapat digunakan jasa Ensiklopedi al Qur’an
semacam Mu’jam al Mufahras li Alfazh al Qur’an al Karim karangan
Muhammad Fuad Abd Baqi dan Mu’jam al muhfars li Alfazh al Hadist karangan
Weinsink.
Ketiga, metode
pembahasan. Untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif metode
analsis-sintesis, yaitu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis
terhadap sasaran pemikiran secara induktif, dedukatif, dan analisa ilmiah.
Keempat, pendekatan.
Dalam hubungannya dengan pembahasan tersebut di atas harus pula dijelaskan
pendekatan yang akan digunakan untuk membahas tersebut. Pendekatan ini biasanya
diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori-teori keilmuan tertentu
yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan ini
pendekatan lebih merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia semacam
paradigma (cara pandang) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.
v Hakikat
Pendidikan dan Pendidikan Islam
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu
upaya pedagogis untuk menstranfer sejumlah nilai yang dianut oleh masyarakat
suatu bangsa kepada sejumlah subjek didik melalui proses pembelajaran. Sistem
nilai tersebut tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam
dasar-dasar pandangan hidup bangsa itu. Rumusan pandangan hidup tersebut
kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan. Dalam
Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan itu pandangan filosofis suatu bangsa
di antaranya tercermin dalam sistem pendidikan yang dijalankan.
Bagi bangsa Indonesia, pandangan filosofis
mengenai pendidikan dapat dilihat pada tujuan nasional sebagaimana termaktub
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 paragraf keempat. Secara umum tujuan
pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian secara
terperinci dipertegas lagi dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
Metode dalam pendidikan islam merupakan suatu metode yang khas dan
tersendiri, baik dari segi alat-alat maupun segi tujuan-tujuannya, dengan suatu
bentuk yang nyata dan menarik perhatian serta membangkitkan minat untuk
memiliki sumber ideologinya yang khas dalam perjalanan sejarah. Ruang lingkup
dan keleluasaan system pendidikan islam tidak boleh keluar dari keterpaduan
tujuan dan cara. Didalam sistem pendidikan islam terdapat satu cara dan satu
tujuan untuk dapat menyatukan kepribadian yang pecah untuk dapat mencapai satu
tujuan yang lurus dan bulat. Inilah keistimewaan dari sistem pendidikan islam
yang berbeda dengan sistem pendidikan buatan manusia yang pada umumnya memiliki
tujuan yang relatif sama meskipun alat-alat yang digunakan untuk memenuhi
tujuan tersebut berbeda-beda sesuai dengan pengaruh lingkungan dan kondisi
sejarah, sosial, politik dan sebagainya.
Sistem pendidikan buatan manusia pada umumnya bermuara dalam suatu
tujuan pendidikan yaitu membentuk “ nasionalisme sejati “. Sedangkan islam,
tidak mengurung dirinya pada batas-batas yang sempit itu dan tidak hanya
berusaha membentuk “ nasionalis sejati “ akan tetapi berusaha untuk mewujudkan
suatu tujuan yang lebih besar dan menyeluruh, yaitu membentuk “ manusia
sejati”.
Islam dalam membentuk manusia yang baik itu tidak membiarkan
manusia berada dalam kebimbangan dan terus menerus berjalan didalam kegelpan,
dimana masing-masing membentuk dirinya menurut kemauannya sendiri. Akan tetapi
islam menetapkan ciri-ciri manusia secara cermat dan jelas, serta menggaris
strategi yang dapat mengantarkan mereka untuk mencapai tujuan itu.
Metodologi islam dalam melakukan pendidikan adalah dengan
melakukan pendidikannya menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada
yang tertinggal dan terabaikan sedikit pun, baik segi jasmani maupun rohani,
baik kehidupannya secara fisik maupun secara mental, dan segala kegiatannya di
bumi ini.
Islam memandang manusia secara totalitas, mendekatinya atas dasar
apa yang terdapat di dalam dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah SWT
kepadanya, tidak ada sedikitpun yang diabaikan dan tidak memaksakan apapun
selain apa yang dijadikan sesuai dengan fitrahnya.[5]
C.
Dasar Filosofi Pendidikan Islam, Tujuan dan konten Pendidikan
Islam
Metode dalam pendidikan islam merupakan suatu metode yang khas dan
tersendiri, baik dari segi alat-alat maupun segi tujuan-tujuannya, dengan suatu
bentuk yang nyata dan menarik perhatian serta membangkitkan minat untuk
memiliki sumber ideologinya yang khas dalam perjalanan sejarah. Ruang lingkup
dan keleluasaan system pendidikan islam tidak boleh keluar dari keterpaduan
tujuan dan cara. Didalam sistem pendidikan islam terdapat satu cara dan satu
tujuan untuk dapat menyatukan kepribadian yang pecah untuk dapat mencapai satu
tujuan yang lurus dan bulat. Inilah keistimewaan dari sistem pendidikan islam
yang berbeda dengan sistem pendidikan buatan manusia yang pada umumnya memiliki
tujuan yang relatif sama meskipun alat-alat yang digunakan untuk memenuhi
tujuan tersebut berbeda-beda sesuai dengan pengaruh lingkungan dan kondisi
sejarah, sosial, politik dan sebagainya.
Sistem pendidikan buatan manusia pada umumnya bermuara dalam suatu
tujuan pendidikan yaitu membentuk “ nasionalisme sejati “. Sedangkan islam,
tidak mengurung dirinya pada batas-batas yang sempit itu dan tidak hanya
berusaha membentuk “ nasionalis sejati “ akan tetapi berusaha untuk mewujudkan
suatu tujuan yang lebih besar dan menyeluruh, yaitu membentuk “ manusia
sejati”.
Islam dalam membentuk manusia yang baik itu tidak membiarkan
manusia berada dalam kebimbangan dan terus menerus berjalan didalam kegelpan,
dimana masing-masing membentuk dirinya menurut kemauannya sendiri. Akan tetapi
islam menetapkan ciri-ciri manusia secara cermat dan jelas, serta menggaris
strategi yang dapat mengantarkan mereka untuk mencapai tujuan itu.
Metodologi islam dalam melakukan pendidikan adalah dengan
melakukan pendidikannya menyeluruh terhadap wujud manusia, sehingga tidak ada
yang tertinggal dan terabaikan sedikit pun, baik segi jasmani maupun rohani,
baik kehidupannya secara fisik maupun secara mental, dan segala kegiatannya di
bumi ini.
Islam memandang manusia secara totalitas, mendekatinya atas dasar
apa yang terdapat di dalam dirinya, atas dasar fitrah yang diberikan Allah SWT
kepadanya, tidak ada sedikitpun yang diabaikan dan tidak memaksakan apapun
selain apa yang dijadikan sesuai dengan fitrahnya
Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Abdul Fatah
Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba
Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang
menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah
kepada Allah.
Islam menghendaki agar
manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang
telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah
beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat
a Dzariyat ayat 56 :
“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali
supaya mereka beribadah kepada-Ku”.
Jalal menyatakan bahwa
sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada
bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat.
Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang
dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban
orang islam untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang
benar.
Ibadah ialah jalan
hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia
berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan
Allah.
Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam
adalah :
1. Tujuan yang berkaitan
dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku
masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus
dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan
dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam
masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang
berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai
profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
Menurut al abrasyi,
merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi
1. Pembinaan akhlak.
2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
3. Penguasaan ilmu.
4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.
Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat
diperinci menjadi :
1. Tujuan keagamaan.
2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.
3. Tujuan pengajaran kebudayaan.
4. Tujuan pembicaraan kepribadian.
Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam
menjadi :
1. Bahagia di dunia dan akhirat.
2. menghambakan diri kepada Allah.
3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat
islam.
4. Akhlak mulia.[6]
ILMU PENGETAHUAN SEBAGAI ISI PENDIDIKAN ISLAM
Ilmu yang telah digelar oleh Allah lewat ayat-ayat Nya (qauliyah
dan kauniyah) , memang dipersiapkan oleh Allah sebagai fitrah manusia, artinya
memenuhi dorongan asasi manusia yaitu keingintahuan (curiosity) terhadap segala
sesuatu (realita). Menurut Ibnu Khaldun ilmu pengetahuan dan pembelajaran
adalah Tabi’i (pembawaan) manusia karena adanya kesanggupan berfikir. Secara
teologis, mencari dsan mengembangkan ilmu pengetahuan yang merupakan
implementasi fitrah keingintahuan itu pada hakekatnya proses identifikasi diri
dengan asma’al-husna “al-‘Alimu” (Allah Yang Maha Tahu). Dengan identifikasi
diri tersebut berarti manusia telah mempersiapkan dirinya untuk menunaikan
amanah kekhalifahannya.[7]
- Hakikat
manusia menurut Islam
Manusia adalah makhluk
(ciptaan) Tuhan, hakikat wujudnya bahwa manusia adalah mahkluk yang
perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan.
Dalam teori pendidikan lama, yang dikembangkan
didunia barat, dikatakan bahwa perkembangannya seseorang hanya dipengaruhi oleh
pembawaan (nativisme) sebagai lawannya berkembang pula teori yang mengajarkan
bahwa perkembangan seseorang hanya ditentukan oleh lingkungannya (empirisme),
sebagai sintesisnya dikembangkan teori ketiga yang mengatakan bahwa
perkembangan seseorang ditentukan oleh pembawaan dan lingkungannya
(konvergensi)
Manusia adalah makhluk
utuh yang terdiri atas jasmani, akal, dan rohani sebagai potensi pokok, manusia
yang mempunyai aspek jasmani, disebutkan dalam surah al Qashash ayat : 77 :
“Carilah kehidupan akhirat dengan apa yang dikaruniakan Allah
kepadamu tidak boleh melupakan urusan dunia “
v Manusia Dalam Pandangan Islam
Manusia dalam pandangan
Islam mempunyai aspek jasmani yang tidak dapat dipisahkan dari aspek rohani
tatkala manusia masih hidup didunia.
Manusia mempunyai aspek akal. Kata yang
digunakan al Qur’an untuk menunjukkan kepada akal tidak hanya satu macam. Harun
Nasution menerangkan ada tujuh kata yang digunakan :
1. Kata Nazara, dalam surat al Ghasiyyah ayat 17 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta
bagaimana dia diciptakan”
2. Kata Tadabbara, dalam surat Muhammad ayat 24 :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al
Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”
3. Kata Tafakkara, dalam surat an Nahl ayat 68 :
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah : “buatlah
sarang-sarang dibukit-bukit, dipohon-pohon kayu, dan ditempat-tempat yang
dibikin manusia”.
4. Kata Faqiha, dalam surat at Taubah 122 :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min
itu pergi semuanya (kemedan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”
5. Kata Tadzakkara, dalam surat an Nahl ayat 17 :
“Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama
dengan yang tidak dapat menciptakan apa-apa? Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran”.
6. Kata Fahima, dalam surat al Anbiya ayat 78 :
“Dan ingatlah kisah daud dan Sulaiman, diwaktu
keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh
kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan keputusan yang
diberikan oleh mereka itu”.
7. Kata ‘Aqala, dalam surat al Anfaal ayat 22 :
“Sesungguhnya binatang(makhluk) yang
seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa-pun.
Manusia mempunyai aspek rohani seperti yang
dijelaskan dalam surat
al Hijr ayat 29 :
“Maka Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan meniupkan
kedalamnya roh-Ku, maka sujudlah kalian kepada-Nya”.[8]
v Konsep Fitrah
Dalam Pendidikan Islam
Banyak yang mengartikan
bahwa bayi yang lahir itu fitrah artinya suci. Jiwa anak tersebut cenderung
kepada agama tauhid. Ketika terjadi penyimpangan dalam perkembangan anak itu
untuk tidak lagi cenderung kepada agama tauhid, para ulama berargumentasi bahwa
hal itu disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
- Pengaruh
adat dan pergaulan (Mahmud Yunus)
- Pengaruh
lingkungan (Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag)
- Pengaruh
hawa nafsu dan kekuasaan (Bakri Syahid)
- Adanya
pendidikan (A. Hassan)
- Guru dan
mengajarnya (al-Maraghi)
- Perbuatan
atau usaha kedua orang tuanya (H.R. Bukhari Muslim)
Untuk pengertian suci, bersih, bukan berarti bahwa fitrah disini
sama dengan tabularasanya Jonh Locke (1632-1704). Meskipun fitrah punya arti
suci-bersih, tetapi fitrah tidak kosong. Fitrah berisi daya-daya yang wujud dan
perkembangannya tergantung pada usaha manusia sendiri.[2] Oleh karena itu fitrah harus dikembalikan
dalam bentuk-bentuk keahlian, laksana emas atau minyak yang terpendam di perut
bumi, tidak ada gunanya kalau tidak digali dan diolah untuk kegunaan manusia.
Disinilah letaknya tugas utama pendidikan. Sedangkan pendidikan sangat
dipengaruhi faktor pembawaan dan lingkungan (nativisme dan empirisme).
Namun ada perbedaan esensial antara pendidikan islam dengan pendidikan umum.
Pendidikan islam berangkat dari filsafat pendidikan theocentric,
sedangkan pendidikan umum berangkat dari filsafat anthropocentric.
Theocentric memandang bahwa semua yang ada diciptakan oleh Tuhan,
berjalan menurut hukum-Nya. Filsafat ini memandang bahwa manusia dilahirkan
sesuai dengan dengan fitrah-Nya dan perkembangan selanjutnya tergantung pada
lingkungan dan pendidikan yang diperoleh. Sedang seorang pendidik atau guru
hanya bersifat membantu, serta memberikan penjelasan-penjelasan yang sesuai
dengan tahap perkembangan pemikiran dan akhirnya pelajar sendirilah yang
belajar. Sedangkan filsafat anthropocentric lebih mendasarkan ajarannya pada
hasil pemikirin manusia dan berorientasi pada kemampuan manusia dalam hidup
keduniawiyan.[3]
Sehubungan dengan ini, maka persamaan dan perbedaan pendidikan
islam dan aliran empirisme ialah: pertama, keduanya sepakat bahwa anak
yang baru lahir adalah bersih dan suci, ibarat kertas putih yang siap ditulis
oleh pendidik. Kedua, karena adanya perbedaan konsep antara fitrah
dengan teori tabularasa, maka peranan pendidik dalam konsep pendidikan islam
lebih terbatas dibandingkan dengan peranan pendidik dalam aliran empirisme,
dalam membentuk dan mengembangkankepribadian anak didik tersebut.
Persamaan dan perbedaan pendidikan islam dengan aliran nativisme: pertama,
keduanya mengakui pentingnya faktor pembawaan, sehingga anak didik berperan
besar dalam membentuk dan mengembangkan kepribadiannya. Kedua, dalam
pendidikan islam karena adanya nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak, maka
pendidik bukan hanya sekedar pembantu tetapi ia bertanggungjawab akan
terbentuknya kepribadian muslim pada anak didik.
Persamaan dan perbedaan pendidikan islam dengan konvergensi: pertama,
keduanya mengakui pentingnya factor endogen dan eksogen dalam membentuk dan
mengembangkan kepribadian anak didik. Kedua, perbedaannya, dalam islam
kemana kepribadian itu harus dibentuk dan dikembangkan sudah jelas, yaitu
ma’rifatullah dan bertakwa kepada-Nya.sedangkan dalam pendidikan yang
berdasarkan anthropocentric pembentukan dan pengembangan kepribadian diarahkan
untuk mencapai kedewasaan dan kesejahteraan hidup didunia.
Berbeda dengan faham materialisme (faham kebendaan) yang meyakini
bahwa manusia mati berarti hilangnya eksistensi manusia secara total. Dalam
islam, sebagaimana disampaikan oleh Mastuhu, fitnah manusia itu setelah mati
akan kembali kepada Allah SWT. Upaya pengembangan fitrah manusia dalam seluruh
aspek yang meliputi spiritual, intelektual, dan keterampilan yang dapat
dimanfaatkan untuk kemajuan dan kesejahteraan hidup (individu dan sosial) dalam
tugasnya sebagai khalifah Allah SWT, diwujudkan dalam rangka memenuhi tujuan
yang satu yaitu mengabdi kepada-Nya. Oleh karena itu fitrah harus tetap
dikembangkan secara wajar bila mana mendapatkan bimbingan yang dijiwai oleh
wahyu. Tentu saja hal ini harus didorong dengan pemahaman islam secara kaffah.
Semakin tinggi tingkat interaksi seseorang dengan islam semakin baik pula
perkembangan fitrahnya.
Dalam ketentuannya-Nya, Allah menunjukkan dua macam jalan, yaitu
jalan yang benar dan jalan yang sesat, dan manusia diberi kebebasan untuk
memilih antara dua jalan tersebut. Atas dua macam jalan ini ada kalanya
manusia itu bersyukur, ada kalanya manusia itu kufur atau mengingkari kebenaran
yaitu memilih jalan yang sesat. Ketentuan Allah menunjukkan bahwa setiap
manusia diberi dua kecenderungan, yaitu kecenderungan nafsu untuk menjadikannya
kafir yang ingkar terhadap tuhannya dan kecenderungan yang membawa sikap
bertaqwa menaati perintah-Nya. Ayat ini dapat dijadikan sumber pandangan bahwa
usaha mempengaruhi jiwa manusia melalui pendidikan dapat berperan positif
untuk mengarahkan perkembangan kepada jalan kebenaran yaitu islam, dengan tanpa
melalui usaha pendidikan. Manusia akan terjerumus kejalan yang salah atau sesat
yaitu kafir, dengan kata lain mengingkari “fitratallah”, meskipun
ketentuan Allah itu bukan suatu paksaan.
Jelaslah bahwa faktor kemampuan memilih yang terdapat
didalam fitrah manusia (human nature) berpusat pada kemampuan berfikir sehat
(berakal sehat), karena akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dari
yang salah. Sedangkan seseorang yang mampu menjatuhkan pilihan secara tepat
hanyalah orang yang berpendidikan sehat. Dengan demikian berfikir benar dan
sehat adalah merupakan fitrah yang dapat dikembangkan melalui pendidikan dan
latihan. Sejalan dengan interpretasi ini maka dapat dinyatakan bahwa pengaruh
faktor lingkungan yang disengaja yaitu pendidikan dan latihan berproses secara
interaktif dan linier dengan kemampuan fitrah manusia. Dalam pengertian ini
pendidikan islam berproses secara konvergensis (convergen: bertemu, berpadu),
yang dapat membawa kepada faham konvergensi dalam pendidikan islam.[9]
E.
Sistim Nilai dan Hubungannya dengan proses Pendidikan Islam.
Posisi Pendidikan Islam serta arah Pendidikan Islam
. NILAI SEBAGAI PENDIDIKAN ISLAM.
Islam memandang adanya nilai mutlak dan nilai intrinsik yang
berfungsi sebagai pusat dan muara semua nilai. Nilai tersebut adalah tauhid (uluhiyah
dan rububiyah) yang merupakan tujuan (ghayah) semua aktifitas
hidup muslim. Semua nilai-nilai lain yang termasuk amal shalih dalam Islam merupakan
nilai instrumental yang berfungsi sebagai alat dan prasyarat untuk meraih nilai
instrumental yang berfungsi sebagai alat dan prasyarat untuk meraih nilai
tauhid.
Dalam menjabarkan konsep nilai baik dasar maupun instrumental
sebagai bagian dari pengembangan kurikulum pendidikan Islam, dapat dielaborasi
dari:
Nilai-nilai yang banyak disebutkan secara eksplisit dalam Al Quran
dan Hadits yang semuanya terangkum dalam ajaran akhlak yang meliputi akhlak
dalam hubungannya dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia,
dengan alam dan makhluk lainnya.
Nilai-nilai universal yang diakui adanya dan dibutuhkan oleh
seluruh umat manusia karena hakekatnya sesuai dengan fitrah seperti cinta
damai, menghargai hak asasi manusia, keadilan, demokrasi, kepedulian sosial dan
kemampuan.
Dengan uraian diatas menegaskan bahwa nilai-nilai keutamaan
(akhlak) merupakan pendidikan yang sangat pentingdalam pendidikan Islam.
TINJAUAN TERHADAP
PEJALANAN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
- A. Pendidikan Islam
Bila kita akan melihat pengertian
pendidikan dari segi bahasa, maka kita harus melihat kepada kata Arab karena
ajaran Islam itu diturunkan dalam bahasa tersebut. Kata pendidikan yang umumnya
kita gunakan sekarang, dalam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah”, dengan
kata kerja “rabba”. Kata pengajaran dalam bahasa Arabnya adalah “ta’lim”
dengan kata kerjanya “allama”. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa
Arabnya “Tarbiyah wa Ta’lim”, sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa
Arabnya adalah “Tarbiyah Islamiyah”. (Zakiah Daradjat, 2004: 25)
Kata kerja rabba (mendidik) sudah
digunakan pada zaman Nabi Muhammad Saw seperti terlihat dalam ayat Al-Qur’an
dan Hadits Nabi. Dalam ayat Al-Qur’an kata ini digunakan dalam susunan sebagai
berikut:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka
berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”.
Sedangkan menurut istilah Pendidikan Islam
adalah sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya;
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai
khalifah Allah di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran Al-Qur’an dan
sunnah, maka tujuan dalam konteks ini berarti terciptanya insan-insan kamil setelah
proses pendidikan berakhir.(Armai Arief, 2002: 16)
- B. Pendidikan Nasional
Berdasarkan pada Undang-undang RI Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1, bahwa yang
dimaksud dengan Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman.(Penerbit Asa Mandiri, 2007: 50)
Adapun rumusan pengertian tentang Pendidikan
Nasional dapat penulis kemukakan pendapat Ki. Hajar Dewantara, seorang tokoh
pendidikan Nasional di Indonesia serta yang diangkat oleh Pemerintah sebagai
Bapak Pendidikan, menyatakan sebagai berikut:
“Pendidikan Nasional adalah pendidikan
yang beralaskan garis hidup dari bangsanya dan ditujukan untuk keperluan
peri-kehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat
bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemulian segenap manusia di
seluruh dunia”. (Ahmadi & Uhbiyati, 2001: 190)
Dengan demikian nampak erat sekali
hubungan antara seorang nasionalisme dengan keyakinan hidup kebangsaan. Hal ini
akan dihayati bagi orang yang menyatakan diri dengan hidup bangsanya dan merasa
terikat dengan benang sutera kecintaan yang halus dan suci dengan bangsanya.
S. Mangunsarkoro menyatakan: “Baru jika
si pendidik itu sendiri seorang nasionalis, barulah ia bisa menyiarkan
keyakinan kebangsaan itu pada tiap-tiap hal yang diajarkannya kepada murid. Dan
karena si pendidik itu seorang nasionalis, maka dengan sendirinya ia dapat
melihat pekerjaannya sebagai guru itu dalam lingkungan dan susunan pekerjaan
kebangsaan yang luas”. (Ahmadi & Uhbiyati, 2001: 191)
C. Relevansi Kebijakan Terhadap
Eksistensi Pendidikan Islam
Relevansi dari kebijakan pemerintah
terhadap pendidikan Islam dapat dilihat dari dikeluarkannya Tap MPRS No. 2
tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan otonom dibawah
pengawasan Menteri Agama selain itu dalam Tap MPRS No. 27 Tahun 1966 dinyatakan
bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional.
Berdasarkan ketentuan ini, maka Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan
madrasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan
(Nawawi, 1983). Dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang
tanggungjawab Fungsional Pendidikan dan Latihan. Isi keputusan ini pada intinya
menyangkut tiga hal, yaitu:
1. Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan pendidikan umum dan
kejuruan.
2. Menteri Tenaga Kerja
bertanggungjawab atas pembinaan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja
bukan pegawai negeri.
3. Ketua Lembaga Administrasi
Negara bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan pendidikan dan latihan
khusus untuk pegawai negeri.
Kemudian dikeluarkan Inpres No. 15 tahun
1974, penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan menjadi sepenuhnya berada
dibawah tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Secara implisit
ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah
yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Dari pernyataan diatas Drs. Akmal Hawi,
M.Ag menyimpulkan, bahwa kebijakan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 yang
kemudian diperkuat dengan Inpres No. 15 tahun 1974 menggambarkan ketegangan
yang cukup keras dalam hubungan madrasah tidak saja diasingkan dengan
pendidikan nasional, tetapi terdapat indikasi kuat akan dihapuskan. Dengan kata
lain, Kepres dan Inpres di atas dipandang oleh sebagian umat Islam sebagai
suatu manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah sebagai suatu
lembaga pendidikan Islam (Akmal Hawi, 2005: 120).
Hal ini menimbulkan reaksi dikalangan umat
Islam terhadap kebijakan pemerintahan tersebut yang dianggap merugikan bagi
kelangsungan pendidikan Islam, kemudian reaksi umat Islam ini mendapat
perhatian oleh Musyawarah Kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran
Agama. Lembaga ini memandang bahwa madrasah merupakan suatu lembaga pendidikan
Islam, oleh sebab itu yang tepat untuk menyelenggarakannya adalah Departemen
Agama sebab Menteri Agama yang lebih tahu tentang kebutuhan pendidikan
agama bukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wirosyukarto, 1996: 88).
Dengan memperhatikan aspirasi umat Islam
diatas, maka dengan ini pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga
Menteri mengenai peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Ketiga menteri itu
adalah menteri pendidikan, menteri dalam negeri, dan menteri agama.
Tujuan lahirnya SKB Tiga Menteri adalah
untuk mengatasi kekhawatiran umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan
madrasah. SKB Tiga Menteri ini dikeluarkan pada sidang Kabinet pada tanggal 26
Nopember 1974.
Adapun isi dari SKB Tiga Menteri
mengandung beberapa diktum seperti dalam Bab I, pasal 1 dan 2 misalnya menyatakan
madrasah itu meliputi tiga tingkatan, yaitu:
a. Madrasah Ibtidaiyah
setingkat dengan Sekolah Dasar (SD)
b. Madrasah Tsanawiyah
setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP)
c. Madrasah Aliyah setingkat
dengan Sekolah Menengah Atas (SMA)
Selanjutnya dalam Bab
II, pasal 2 disebutkan bahwa:
a. Ijazah Madrasah dapat
mempunyai nilai yang sama dengan ijazah Sekolah Umum.
b. Lulusan Madrasah dapat
melanjutkan ke Sekolah Umum.
c. Siswa Madrasah dapat
berpindah ke Sekolah Umum (Martunus, 1979).
Mengenai pengelolaan dan
pembinaan terdapat dalam Bab IV, pasal 4, yaitu:
a. Pengelolaan Madrasah
dilakukan oleh Menteri Agama.
b. Pembinaan mata pelajaran
agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
c. Pembinaan dan pengawasan
mutu pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri (Aziz Martunus, 1979).
Dengan dikeluarkannya SKB Tiga Menteri
dapat dipandang sebagai bentuk pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi
madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis untuk menuju tahapan
integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional. Dalam hal ini, madrasah
tidak hanya dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan atau lembaga
penyelenggara kewajiban belajar, tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan yang
menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar (Hasbullah,
1995).
Dengan demikian UU No.2 tahun 1989
tersebut merupakan wadah formal terintegrasinya sistem pendidikan Islam dalam
sistem pendidikan nasional meskipun secara eksplisit tidak mengatur secara
khusus tentang pendidikan Islam tetapi dalam prakteknya memberikan
ketentuan-ketentuan baru mengenai jenis dan kurikulum pendidikan Islam,
khususnya pendidikan madrasah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
posisi Pendidikan Islam dalam sistem Pendidikan Nasional tahun 1989 tercermin
dalam beberapa aspek, yaitu:
a. Sistem pendidikan nasional
menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur
dan jenis pendidikan.
b. Dalam sistem pendidikan
nasional, madrasah dimasukkan ke dalam kategori pendidikan jalur sekolah.
Kebijakan ini dapat dikatakan bahwa madrasah pada hakekatnya adalah sekolah.
c. Meskipun madrasah diberi
status pendidikan jalur sekolah tetapi sesuai dengan jenis keagamaan dan sistem
pendidikan nasional. Maka madrasah memiliki jurusan khusus yaitu ilmu-ilmu
agama dan ilmu umum (Maksum, 1999).
Jadi, kesimpulannya adalah integritas
madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional bukan merupakan integritas dalam
artian penyelenggaraan dan pengelolaan, tetapi lebih pada pengakuan yang lebih
mantap bahwa madrasah adalah bagian dari Sistem Pendidikan Nasional walaupun
pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Agama.[10]
Arah Pendidikan Islam
Nilai teologis
Diantara sekian banyak nilai yang tersentralisasikan dalam suatu tatanan nilai, maka nilai teologis adalah bagian integral dari sejumlah tatanan nilai yang ada. Nilai teologis secara eksplisit di sebutkan dalam tujuan pendidikan nasional yaitu dalam kalimat ’menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa’. Kaliamt ini secara hierarkhis mwengindikasikan bahwa disamping memayungi juga berfungsi merangkul aspek tujuan lain dalam satu jalinan yang integral.
Dalam tradisi pendidikan islam sampai sekarang ini, internalisasi nilai teologis hanya di berikan secara terbatas dalam pendidikan akidah (teologi islam). Yaitu kajian yang menyangkut permasalahan ketuhanan yang hanya berdimensi transendental kontemplatif. Tradisi ini sudah sejak lama berlangsung, sehingga nilai-nilai teologis belum mengintegral ke dalam disiplin-disiplin ilmu lainnya secara holistik. Bahkan pendekatan pembelajaran yang di gunakan dalam proses internalisasi nilai-nilai teologis ini hanya sebatas pendekatan imani.
Kecenderungan pendekatan dalam proses belajar mengajar seperti ini jelas mempersempit bahkan mendistorsi pemahaman peserta didik secara objektif terhadap nilai-nilai teologis yang sebenarnya. Akibatnya peserta didik cenderung memahami dimensi nilai teologis sebatas pada tataran ritualistik-formalistik dan dogmatisakralistik. Pendekatan yang demikian, menjadikan kajian dimensi teologis semakin absurd, abstrak, melangit dan kurang menyentuh persoalan-persoalan riil kemanusiaan. Di tambah lagi dengan anggapan bahwa wilayah kajian teologi adalah wilayah sakral-absolut sehingga tidak memberikan ruang reinterpretasi secara kreatif dan aktual-kontekstual terhadap penafsiran sebelumnya.
Berdasarkan pengamatan dan kajian literatur diketahui bahwa madrasah-madrasah di Indonesia pada umumnya didapati masih juga menerapkan model pembelajaran yang tidak jauh berbeda sebagaimana diuraikan di atas. Hal ini terjadi hampir terjadi di semua bidang studi interen ilmu agama islam, lebih lagi bidang studi sains. Sepertinya belum ada transformasi berarti dalam reorientasi sistemik dan filosofis baik muatan materi ajar maupun metodologi pengajaran ke arah yang relevan dengan tuntutan perubahan zaman. Karena itu dituntut adanya pembaharuan pemahaman terhadap masalah ini sehingga memungkinkan terwujudnya pendidikan islam yang mumpini bagi zamannya.[11]
- Konsep
Pendidikan Menurut Ibn Khaldun
Ibn Khaldun bukan sahaja
seorang ahli falsafah tetapi juga pengasas ilmu kemasyarakatan dan sumbangannya
amat besar dalam bidang berkenaan sehingga hari ini. Beliau disifatkan sebagai
sarjana agung penamat arus kebangkitan ilmu
dalam Islam semasa zamannya. Ibn Khaldun
cenderung dalam melakukan kajian tentang masyarakat dan beliau telah meletakkan kaedah-kaedah ilmu ini
sebagai asas awal dalam penulisan sejarah masakini. Beliau merangkumkan pemikirannya
tentang kemasyarakatan dalam bukunya iaitu : Al-Muqaddimah. Selain dari
itu Ibn Khaldun juga telah berjaya membangunkan teori-teori pendidikan dalam
karyanya yang sama. Penyelidikan ini dikhususkan pembahasannya kepada konsep
pendidikan Islam dan elemen-elemen kemasyarakatan berdasarkan pemikiran Ibn
Khaldun. Justeru, penyelidikan ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui konsep
pendidikan Islam menurut pemikiran Ibn Khaldun yang sesuai untuk diterapkan
dalam masyarakat sekarang, di samping tidak mengetepikan elemen-elemen
kemasyarakatan yang utama berdasarkan pemikiran beliau. Perhatian akan
diberikan kepada aspek-aspek kemasyarakatan seperti : aspek sejarah, budaya,
persekitaran, dan tamadun. Penyelidikan ini menggunakan kaedah sejarah iaitu
mengadakan penyelidikan yang bermatlamat untuk memecahkan masalah yang aktual
dan menganalisis secara objektif permasalahan yang ada. Penyelidikan ini juga
merupakan penyelidikan kualitatif yang bersifat tekstual dan kontekstual dengan
memfokuskan pada kajian kepustakaan. Data yang diperoleh atau terkumpul dari
kajian ini barulah dianalisis dengan menggunakan kaedah analisis isi.
Ibn Khaldun menyarankan
supaya pendidikan yang bermartabat dan bermatlamat tinggi haruslah memerhatikan
elemen-elemen kemasyarakatan dalam proses pembelajaran dan pengajaran, baik
manusia sebagai anggota masyarakat yang suka kepada perkembangan dan perubahan
serta masyarakat yang selalu siap dengan perbezaan sesama mereka, kerana ini
semua akan menjadi sarana pendokong dalam dunia pendidikan.
Kemasyhuran Ibn Khaldun
dalam dunia ilmu pengetahuan pada amnya dan dunia pendidikan Islam khasnya,
hendaklah dapat dijadikan contoh teladan yang dapat diikuti jejaknya oleh
kalangan yang ingin mengembangkan wawasan pengetahuannya. Apalagi beliau dianggap
sebagai salah seorang pengasas ilmu kemasyarakatan yang hebat.
Sebagaimana diketahui bahawa pendidikan
dalam Islam mempunyai martabat yang
suci dan penting sekali dan ia menjadi
bahagian yang tidak dapat dipisahkan dari
Islam kerana merupakan tuntutan dan
kewajiban. Dalam pandangan Islam mencari
ilmu dan mengajarkannya adalah suatu
kewajiban yang sangat mulia, oleh itu
mencari ilmu adalah suatu kewajiban bagi
setiap muslim. Lebih tegas lagi, Islam
mewajibkan bagi setiap orang muslim dan
muslimat untuk menuntut ilmu melalui
sabda Rasulullah s.a.w. :
Artinya : ”Menuntut ilmu itu adalah
kewajiban atas setiap orang Islam, baik laki-laki
mahupun perempuan”.
Dengan kata lain, Islam mengajar bahawa
Allah s.w.t. tidak akan mengubah nasib
suatu kaum sampai kaum itu mengubahnya
sendiri30, dan antara cara untuk
merubah ini adalah dengan ilmu.
Pendidikan Islam juga mempunyai prinsip
yang lebih unggul iaitu menghubungkan prinsip-prinsip mengenal Tuhan, alam
semesta dan diri insan secara serentak tanpa terpisah antara satu sama
lain. Sebagaimana yang terkandung dalam ayat al- Qur’an yang pertama
diturunkan, bahawasanya ia tidaklah dimulai dengan perintah yang berhubung
dengan perkara lain seperti ibadah khusus dan lain-lain, akan tetapi dimulakan
dengan perintah yang berhubung kait dengan suruhan menuntut ilmu. Sesuai dengan
firman Allah s.w.t. dalam al-Qur’an:
Artinya : “Bacalah dengan nama Tuhanmu
yang menciptakan, ia menciptakan
manusia dari se-buku
darah beku; Bacalah, dan Tuhanmu yang Maha
Pemurah. Yang mengajar
manusia melalui pena. Ia mengajarkan manusia
apa yang tidak
diketahuinya”.
(al-Qur’an, al-‘Alaq: 1 – 5)
Ayat diatas merupakan ayat yang pertama
diturunkan di Makkah untuk menjelaskan keutamaan Allah s.w.t menciptakan
manusia dari yang lemah sehingga menjadi kuat iaitu dengan menampakkan tuntutan
atau kewajiban untuk membaca dan menulis agar terlihat perbezaan antara manusia
dengan makhluk-makhluk yang
Lain.
Wahyu ini ialah perintah Ilahi kepada
rasul-Nya s.a.w. supaya mengisytihar dan menyebarkan risalat kepada
semua umat manusia. Wahyu yang pertama ini mengandungi perintah yang menyuruh
manusia agar belajar, mengenal Tuhan, memahami fenomena alam, memahami diri
sendiri serta menghayati bahawa cara hidup yang baik adalah tergolong dalam
prinsip akidah, ilmu dan amal.32 Oleh kerana itu, semua perkara ini adalah
menjadi prinsip hidup manusia dalam mencapai al-insan al-kamil. Inilah
ayat-ayat pertama yang diturunkan Allah s.w.t. dan ia berupa rahmat Allah s.w.t.
yang terbesar untuk umat manusia. Dalam ayat-ayat permulaan ini Allah s.w.t menyuruh
Nabi Muhammad s.a.w. supaya membaca dan memperhatikan bukti kebesaran Allah
s.w.t di alam ini. Dan inilah merupakan landasan terciptanya pendidikan Islam
bagi sekalian umat manusia di dunia ini. Islam tidaklah melihat pendidikan dari
skop yang sempit. Ia tidak terbatas pada pendidikan duniawi semata-mata, tetapi
meliputi dua lapangan iaitu dunia dan akhirat. Dalam hubungan ini Islam telah
membahagikan ilmu kepada dua kumpulan yang besar; Pertama ialah ilmu fardu
‘ayn yang dituntut ke atas setiap orang supaya mengetahui dan
mempelajarinya dalam melaksanakan suruhan agama, seperti ilmu
agama, (tauhid, akidah, akhlak, fiqh dan
lain-lain). Kedua, ilmu fardu kifayat iaitu yang mesti ada pada
sekumpulan orang dalam masyarakat tanpa melihat kepadam individu tertentu
seperti ilmu pertukangan, kemahiran, perniagaan, kedoktoran, ekonomi, kimia,
fizik, pembuatan senjata dan sebagainya. Walau bagaimanapun, ilmu yang kedua
ini menjadi fardu ‘ayn apabila tiada seorang pun muslim dalam masyarakat
itu yang mempelajarinya.
Pendidikan Islam akan
menyatukan semua pengetahuan di bawah pengendalian al- Qur’an dan al-Sunnat
yang merupakan teras di dalam kesyumulan dan kesatuan ilmu-ilmu itu.
G. KONSEP
PENDIDIKAN AL-GHAZALI
Untuk
mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui dengan cara memahami
pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan
pendidikan, yaitu: tujuan, kurikulum, metode, etika guru, dan etika murid.
1. Tujuan Pendidikan
1. Tujuan Pendidikan
Seorang
guru baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar
filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek
kurikulum, metode, guru dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran
Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai
melaliu pendidikan ada dua, pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang
bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT, kedua, kesempurnaan insani yang
bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan
manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud
pendidikan itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa
mengabaikan masalah duniawi.
Akan tetapi, disamping bercorak agamis yang merupakan cirri spesifik pendidikan islam, tampak pula cenderung pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut sejalan dengan filsafat Al-ghazali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran pendidikan adalah kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu. Keutamaan itulsh yang akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada Allah SWT sehingga bahagia di ahkirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi beliautermasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang dikandungnya serta kenikmatan yang diperoleh manusia padanya.
Akan tetapi, disamping bercorak agamis yang merupakan cirri spesifik pendidikan islam, tampak pula cenderung pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut sejalan dengan filsafat Al-ghazali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran pendidikan adalah kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu. Keutamaan itulsh yang akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada Allah SWT sehingga bahagia di ahkirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi beliautermasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang dikandungnya serta kenikmatan yang diperoleh manusia padanya.
2.
Kurikulum Pendidikan
Al-Ghazali
membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
• Ilmu yang tercela, sedikit atau banyak. Ilmu tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain, dan akan meragukan Allah SWT.
• Ilmu yang tercela, sedikit atau banyak. Ilmu tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain, dan akan meragukan Allah SWT.
• Ilmu yang
terpuji, sedikit atau banyak, misalnya ilmu tauhid, dan ilmu agama. Bila ilmu
ini dipelajari akan membawa orang kepadajiwa yang suci bersih dari kerendahan
dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
• Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, dan tidak boleh didalami, karma dapat membawa kepada goncangan iman, seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazalimembagi lagi menjadi dua bagian dilihatdari kepentingannya, yaitu:
• Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, dan tidak boleh didalami, karma dapat membawa kepada goncangan iman, seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazalimembagi lagi menjadi dua bagian dilihatdari kepentingannya, yaitu:
• Ilmu yang
fardhu (wajib) untuk diketahui oleh semua orang muslim, yaitu ilmu agama.
• Ilmu yang merupakan fardhu kifayah untuk dipelajari setiap muslim, ilmu dimanfaatkan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti : ilmu hitung, kedokteran, teknik, dan ilmu pertanian dan industri.
• Ilmu yang merupakan fardhu kifayah untuk dipelajari setiap muslim, ilmu dimanfaatkan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti : ilmu hitung, kedokteran, teknik, dan ilmu pertanian dan industri.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian
khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap
ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Kurikilum menurut
Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
•
Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-ghazali
menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangya sebagai alat
untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.
• Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnyabagi manusia, baik kehidupan di dunia, maupun untuk kehidupan akhirat, ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu tang tak bernilai. Bagi al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliyah.
• Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnyabagi manusia, baik kehidupan di dunia, maupun untuk kehidupan akhirat, ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu tang tak bernilai. Bagi al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliyah.
3. Metode
Pengajaran
Perhatian
Al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral sejalan dengan kecenderungan
pendidikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus
dengan sifat yang harus dimilikioleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.
Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru, juga dikaitkan dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia sekaligus yang paling agung .pendapatnya ini, ia kuatkan dengan beberapa ayat Al-quran dan hadits Nabi yang mengatakan status guru sejajar dengan tugas kenabian. Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud termulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bahkan, kaum muslimin pada zaman dahulu amat mementingkan menuntut ilmu yang langsung diterima dari mulut seorang guru. Mereka tidak suka menuntut ilmu dati buku-buku dan kitab-kitab saja, sebagian mereka berkata “ Diantara malapetaka yang besar yaitu berguru pada buku, maksudnya belajar dengan membaca buku tanpa guru”, dalam sebuah kitab dikatakan “Barang siapa yang tiada berguru, maka syetanlah imammya”.
Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru, juga dikaitkan dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia sekaligus yang paling agung .pendapatnya ini, ia kuatkan dengan beberapa ayat Al-quran dan hadits Nabi yang mengatakan status guru sejajar dengan tugas kenabian. Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud termulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bahkan, kaum muslimin pada zaman dahulu amat mementingkan menuntut ilmu yang langsung diterima dari mulut seorang guru. Mereka tidak suka menuntut ilmu dati buku-buku dan kitab-kitab saja, sebagian mereka berkata “ Diantara malapetaka yang besar yaitu berguru pada buku, maksudnya belajar dengan membaca buku tanpa guru”, dalam sebuah kitab dikatakan “Barang siapa yang tiada berguru, maka syetanlah imammya”.
Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berfaham
empirisme, oleh karena itu, beliau sangat menekankan pengaruh pendidikan
terhadap anak didik. Anak adalah amanat yang dipercayakan kepada orang tuanya,
hatinya bersih, murni, laksana permata yang berharga, sederhana, dan bersih
dari ukiran apapun. Ia dapat menerima tiap ukiran yang digoreskan kepadanya dan
akan denderung ke arah yang kita kehendaki. Oleh karna itu, bila ia dibiasakan
dengan sifat-sifat yang baik, maka akan berkembanglah sifat-sifat yang baik
pula. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
“Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orang tuanyalah yang menyebabkan
anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani, dan Majusi.”( HR. Muslim)
4. Kriteria
Guru Yang Baik
Menurut Al-Ghazali, bahwa guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah selain guru yang cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaanakal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya guru dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya guru dapat melaksanakan tugasnya mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum di atas, seorang guru juga memiliki sifat-sifat khusus sebagai berikut:
• Mencintai murid seperti mencintai anaknya sendiri.
• Jangan
mengharapkan materi sebagai tujuan utama karena mengajar adalah tugas yang
diwariskan Rasulullah SAW.
•
Mengingatkan murid bahwa tujuan menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
• Guru
harus mendorong muridnyauntuk mencari ilmu yang bermanfaat.
• Guru harus memberikan tauladan yang baik di mata muridnya sehingga murid senang mencontoh tingkah lakunya.
• Guru harus memberikan tauladan yang baik di mata muridnya sehingga murid senang mencontoh tingkah lakunya.
• Guru
harus mengajarkan pelajaran sesuaitingkat kemampuan akal anak didik.
• Guru harus mengamalkan ilmunya.
• Guru harus mengamalkan ilmunya.
• Guru
harus bias mengetahui jiwa anak didiknya.
• Guru
dapat mendidik keimanan ke dalampribadi anak didiknya.
5. Sifat Murid Yang
Baik
Sejalan dengan tujuan
pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka belajar
termasuk ibadah. Dengandasar pemikiran ini, maka seorang murid yang baik
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Seorang murid harus memulyakan guru dan bersikap rendah hati
• Harus saling menyayangi dan tolong-menolong sesama teman
• Mempelajari bermacam-macam ilmu dari tiap-tiap ilmu tersebut
• Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari perbuatan hina dan tercela
• Seorang murid hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib
• Seorang murid hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap
• Seorang murid hendaknya mengetahui nilai setiap ilmu yang dipelajarinya.
6. Ganjaran dan Hukuman
Selanjutnya Al-Ghazali
berkata:Apabila anak-anak itu berkelakuan baik dan melakukan pekerjaan yang
bagus, hormatilah ia dan hendaknya diberi penghargaan dengan sesuatu yang
menggembirakannya, serta dipuji di hadapan orang banyak. Jika ia melakukan
kesalahan satu kali, hendaknya pendidikmembiarkan dan jangan dibuka rahasianya.
Jika anak itu mengulanginya lagi, hendaknya pendidik memarahinya dengan
tersembunyi, bukan dinasehati di depan orang banyak, dan janganlah pendidik
seringkali memarahi anak-anak itu, karena hal itu dapat menghilangkan pengaruh
pada diri anak, sebab sudah terbiasa telinganya mendengarkan amarah itu.
Metode pemberian hadiah dan hukuman untuk tujuan mendidik dipandang sebagai metode yang aman. Terlalu banyak melarang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Demikian pula terlalu banyak memberikan pujian tidak menjadi penyebab terjadinya perbaikan. Dalam berbagai kesempatan Al-Gazali menerangkan bahwa membesarkan anak dengan kemanjaan, bersenang-senang dan bermalas-malasan serta meremehkan pergaulan bersama orang lain termasuk perkara yang tidak baik karena membesarkan anak dengan cara seperti ini akan merusak akhlaknya .[12]
Metode pemberian hadiah dan hukuman untuk tujuan mendidik dipandang sebagai metode yang aman. Terlalu banyak melarang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Demikian pula terlalu banyak memberikan pujian tidak menjadi penyebab terjadinya perbaikan. Dalam berbagai kesempatan Al-Gazali menerangkan bahwa membesarkan anak dengan kemanjaan, bersenang-senang dan bermalas-malasan serta meremehkan pergaulan bersama orang lain termasuk perkara yang tidak baik karena membesarkan anak dengan cara seperti ini akan merusak akhlaknya .[12]
[4]
http://aprillins.com/metode-filsafat-pendidikan-progresivisme
[7] http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/07/isi-pendidikan-islam.html