FILSAFAT ILMU



I. PENDAHULUAN
            Mendengar kata aksiologi tentu pikiran kita langsung mengaitkannya dengan term etika, moral dan nilai. Aksiologi sebagai cabang filsafat dan dasar ilmu mencoba untuk mengkaji nilai. Mencoba untuk membahas nilai apa yang terkandung dalam suatu ilmu.
            Dalam perjalanan sejarah kita ketahui bahwa ilmu pernah mengalami otonomi dari nilai, meskipun pada hakikatnya ilmu dan nilai tidak bisa dipisahkan. Tapi itulah yang terjadi, banyak ilmu yang menghasilkan teknologi membawa ke-destruktifan pada manusia itu sendiri dan alam.
            Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang berarti nilai, dan logos yang berarti teori. Jadi, aksiologi adalah “teori tentang nilai”. Itulah menurut bahasa. Kemudian, menurut Jujun S. Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari penegtahuan yang diperoleh.
            Dalam makalah ini, kami beupaya untuk mengkaji dasar ilmu yaitu aksiologi dan apa nilai ilmu. Meski pembahasan makalah ini tidak in, tapi kita berharap dari sekelumit pembahasan ini bisa menjadi stimulator untuk mencari informasi lebih jelas bagaimana sebenarnya aksiologi.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Aksiologi
Ilmu, kata yang sudah sering kita dengar bahkan melekat dalam memori kita. Dengan ilmu, kebutuhan manusia secara efektif dan efisien dapat terpenuhi. Tidak dapat dipungkiri, dengan polesan ilmu wajah dunia berubah. Hutan berubah jadi pemukiman. Isinya yaitu kayu diolah menjadi bahan kertas, perabotan, dan peralatan lainnya. Dengan ilmu, unsur-unsur yang ada di bawah tanah seperti batu bara, besi, tembaga, emas, dan unsur lainnya diubah menjadi bahan bakar, transportasi,  dan perhiasan. Akan tetapi dalam sejarahnya, apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan seperti teknologi tidak semua dapat membawa kemaslahatan buat manusia. Teknologi nuklir yang pada awalnya dimanfaatkan untuk penerangan, disalah gunakan untuk senjata pemusnah massal.  Singkatnya, ilmu dapat merubah sesuatu menjadi berharga dan sebaliknya, membawa petaka.

Sebelum jauh mengakaji tentang dasar-dasar ilmu yaitu aksiologi, ada baiknya kita memahami pengertian aksiologi terlebih dahulu. Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang berarti nilai, dan logos yang berarti teori. Jadi, aksiologi adalah “teori tentang nilai”.[1] Itulah menurut bahasa. Kemudian, menurut Jujun S. Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. [2]
Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian:
  1. Moral conduct yaitu tindakan moral. Bidang ini menghasilkan disiplin khusus, yaitu etika.
  2. Estethic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan hal-hal yang berkaitan dengan nuansa keindahan.
  3. Sosio-political life. Yaitu, kehidupan sosial politik yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.[3]
Dalam buku Amsal Bakhtiar yang dikutip dari Encyclopedia of Philosopy mengungkapkan bahwa aksiologi disamakan dengan value and valuation.[4] Nilai merupakan tema baru dalam filsafat. Aksiologi sebagai dasar ilmu sekaligus cabang ilmu muncul pertama kali pada paruh kedua abad ke-19. Namun, Plato dalam hal ini telah membahasnya dalam karyanya. “Bahwa keindahan, kebaikan, dan kekudusan merupakan tema yang penting bagi para pemikir di sepanjang zaman,” ungkapnya.[5]
      Ada tiga bentuk value and valuation:
1.               nilai yang digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit dalam hal ini seperti baik, menarik, dan bagus. Dalam pengertian luas mencakup bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
2.               nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai-nilai, “nilainya delapan, seratus, tujuh, dll”.
3.               nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan.
Dari defenisi dan pembagian nilai, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Ciri khas dasar lain dari nilai adalah polaritas. Artinya, nilai seolah-olah menampilkan dirinya dengan disingkapkan dalam salah satu aspek positif dan dalam aspek negatif. Kejelekan lawannya keindahan, keadilan lawananya kezaliman, keberanian lawannya kepengecutan, dll. Akan tetapi, perlu dijelaskan di sini bahwa adanya nilai positif karena adanya ‘peran’ nilai negatif. Seandainya semua orang diciptakan cantik, pasti kita tidak akan pernah mengenal orang jelek. Secara sederhana dapat dipahami bahwa ‘positif’ sama efektifnya dengan ‘negatif’.
Selain itu, nilai juga tersusun secara hierarkis, yakni ada nilai yang lebih tinggi dan ada nilai yang lebih rendah.  Susunan hierarkis nilai janganlah dikacaukan dengan klasifikasinya. Nilai terjadi dalam urutan pentingnya. Keberadaan urutan hierarkis merupakan sebuah rangsangan yang menyegarkan bagi tindakan kreatif dan peninggian moral.
Teori tentang nilai yang ada dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti. Pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia., misalnya etika profesi keguruan. Maka kata etika kita garis bawahi sebagai sekumpulan pengetahuan tentang aturan-aturan mengenai profesi keguruan. Arti kedua, merupakan suatu predikat  yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan atau tindak-tanduk manusia. Seperti ungkapan, “Ia bersikap tidak etis”.
Renes mengungkapkan Problema utama aksiologi dalam buku Filsafat Ilmu karya Rizal Mustatir ada empat:[6]
  1. kodrat nilai berupa problem mengenai apakah nilai itu berasal dari keinginan, kesenangan, kepentingan, keinginan rasio murni, pengalaman sinoptik kesatauan kepribadian,pengalaman yang mendorong semangat hidup?
  2. jenis-jenis nilai menyangkut perbedaan pandangan antara nilai instrinsik dan ukuran kebijaksanaan nilai itu sendiri.
  3. kriteria nilai. Artinya, bagaimana ukuran untuk menguji nilai yang dipengaruhi psikologi dan logika. Penganut hedonis menemukan bahwa ukuran nilai terletak pada sejumlah kenikmatan yang dilakukan oleh seseorang atau masyarakat. Penganut idealis mengukurnya dengan sistem objektif dan norma-norma ideal sebagai kriterianya.
  4. status metafisik nilai mempersoalkan tentang bagaimana hubungan antara nilai terhadap fakta-fakta yang diselidiki melalui ilmu-ilmu kelaman, kenyataan terhadap keharusan, pengalaman manusia tentang nilai pada realitas kebebasan manusia.
Di samping itu, yang lebih mewacana dalam persoalan aksiologi berupa pertanyaan, apakah nilai itu objektif atau subjektif? Untuk menjawabnya, perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai:
a.       nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
b.      nilai itu subjektif apabila eksistensinya, maknanya, validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis.
Adalah benar – tetapi tidak mutlak – bahwa nilai itu subjektif. Para kaum subjektivitas mendasarinya dengan argumen bahwa apa yang dimilki nilai tidak terlepas dari apresiasi manusia dalam penilaiannya. Namun, terdapat perbedaan  yang mendasar antara penilaian dan nilai. Nilai itu mendahului penilaian. Jika tidak ada nilai, apa yang akan kita nilai? Mengacaukan antara penilaian dengan nilai sama dengan mengacaukan antara persepsi dengan ojek yang dipersepsi. Persepsi tidak menciptakan objek, tapi persepsi menagkapnya.[7] Hal ini sama dengan kasus penilaian.

B. Nilai Ilmu
Tidak dapat dipungkiri, peradaban manusia sangat bergantung kepada ilmu dan teknologi. Dengan adanya ilmu dan teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan seefektif dan seefisien mungkin. Akan tetapi, dalam kenyataannya dapat kita saksikan bahwa terkadang ilmu membawa petaka buat manusia. Ilmu dan teknologi digunakan untuk pembunuhan massal, lihat bagaimana Israel dengan semena-mena meluncurkan tank dan jet tempur berisi senjata pembunuh massal. Masih banyak kejadian yang terhampar di hadapan kita dengan penyalah-gunaan ilmu dan teknologi.
            Sebenarnya ilmu tidak terlepas dari nilai. Dan hakikatnya, ilmu itu berasal dari Allah yang diatur dengan nilai.
            Kalau kita merunut sejarah ke belakang, sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan moral. Thomas Aquinas membangun pemikiran tentang nilai dengan mengidentifikasi filasafat Aristoteles tentang nilai tertinggi dengan penyebab final (causa prima) dalam diri Tuhan sebagai keberadaan kehidupan, keabadian, dan kebaikan tertinggi. Tokoh Aufklarung, Kant, memperlihatkan hubungan antara pengetahuan dengan moral, estetik, dan religius.[8]
            Namun, pengadilan inkuisi Galilieo selama kurang lebih dua setengah abad mempengaruhi proses berpikir di Eropa. Pengembangan ilmu dipandang bisa berkembang jika tidak ada campur tangan ajaran agama, doktrin gereja. Dalam kurun ini, para ilmuwan berjuang menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam dan rasionalitas semata sehingga lahirlah semboyan, “Ilmu yang bebas nilai”. Setelah pertarungan itu terlihatlah otonomi dalam melakukan penelitian, yang terbebas dari segenap dogmatik.
            Terkait dengan masalah moral dalam akses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi kepada dua golongan.
  1. Golongan ini berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini, para ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah dipergunakan untuk tujuan yang baik atau sebaliknya. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era Galileo.
  2. Bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandasakan nilai moral. Golongan ini mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal:
·         Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dnegan adanya perang dunia yang mempergunakan teknologi keilmuwan.
·         Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kuam ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekse yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan.
·         Ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetik dan teknik perbuatan sosial.[9]
Dari dua golongan di atas, tampak netralitas ilmu terletak pada epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapa-pun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan buruk. Dan sejatinya, seorang ilmuwan mesti mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa hal ini, seorang ilmuwan akan menjadi momok yang menakutkan.
C. Agama sebagai Solusi
Nilai moral dan ilmu tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Justru keduanya mesti ada keterpaduan. Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya. Agama mnegarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Allah, agar manusia sadar akan hakikat penciptannya. Tidak serta merta mengarahkan ilmu pengetahuan pada praxis, pada kemudahan-kemudahan dan kesenangan dunia.
Solusi yang diberikan oleh al-Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam, bukan sebaliknya.
Sejarah tradisi Islam telah tercatat bahwa ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tidak terkendali, tapi ia harus bergerak kepada arah maknawi dan umat terkhusus I,uwan yang mendalaminya berhak mengarahkannya.






















III. KESIMPULAN
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang berarti nilai, dan logos yang berarti teori. Jadi, aksiologi adalah “teori tentang nilai”. Itulah menurut bahasa. Kemudian, menurut Jujun S. Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian:
1. Moral conduct yaitu tindakan moral. Bidang ini menghasilkan disiplin khusus, yaitu etika.
2. Estethic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan hal-hal yang berkaitan dengan nuansa keindahan.
3. Sosio-political life. Yaitu, kehidupan sosial politik yang akan melahirkan filsafat  sosio-politik.
Nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai itu subjektif apabila eksistensinya, maknanya, validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis.
Dari dua golongan di atas, tampak netralitas ilmu terletak pada epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapa-pun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan buruk. Dan sejatinya, seorang ilmuwan mesti mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa hal ini, seorang ilmuwan akan menjadi momok yang menakutkan.
Solusi yang diberikan oleh al-Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam, bukan sebaliknya.



DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu,  Jakarta: Raja Garafindo Persada, 2004.
Frondizi, Risieri.Pengantar Filsafat Nilai, Diterjemahkan oleh: Cuk Ananta Wiajaya, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2001.
Mustatir, Rizal. dkk., Filsafat Ilmu,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Suriasumantri, Jujun S.   Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998.


[1]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu,  (Jakarta: Raja Garafindo Persada, 2004), hal. 162.
[2]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), hal. 234.
[4]Amsal Bakhtiar, Op.Cit, hal. 164.
[5]Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, Diterjemahkan oleh: Cuk Ananta Wiajaya, ( Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2001), hal. 1.
[6]Rizal Mustatir, dkk., Filsafat Ilmu,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 26-28.
[7]Risieri Frondizi, Op.Cit. hal. 19-22.
[8]Rizal Mustatir, Loc. Cit.
[9]Amsal Bakhtiar, Op. Cit. 169-170. 

Postingan populer dari blog ini

TO BE AND AUXILIARY VERB

ISLAM SEBAGAI AJARAN, PEMAHAMAN DAN PENGAMALAN

Etika Guru Terhadap Atasan (Pemimpin)