SYARAT DAN RUKUN NIKAH


A. Rukun Nikah
            1. Sigat (akad), yaiatu perkataan dari piahak wali perempuan, seperti kata wali, “saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama…” jawab mempelai laki-laki, “Saya terima menikahi… Boleh juga didaduhului oleh perkataan dari pihak mempelai, seperti: “Nikahkanlah saya dengan anakmu. “jawab wali, “ saya nikahkan engakau dengan anak saya …., karena maksudnya sama.

            Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafaz nikah, tazwij, atau terjemahan dari keduanya.
Sabda rasulullah SAW:



            Artinya: takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan. Sesungguhnya kamu ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah,
            Yang dimaksud dengan “kalimat Allah” dalam hadis ialah Al-qur’an, dan dalam al-qur’an tidak disebutkan selain dua kalimat itu (nikah dan tajwij), maka harus dituruti agar tidak salah. Pendapat yan lain mengatakan bahwa akad sah dengan lafaz yang lain, asal maknanya sama dengan kedua lafaz tersebut, karena asal lafaz akad tersebut ma’qul makna, tidak semata-mata ta’abbudi
            2. Wali (wali siperempuan), keterangannya adalah sabda Nabi Saw:



            Artinya: barang siapa diantara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal. (Riwayat Empat Orang Ahli hadis, kecuali Nasaai)


            Artinya: janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain, dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri. (Riwayat Ibnu Majah dan Daraqutni).
            3. Dua Orang Saksi
Sabda junjungan kita Saw:


            Artinya: TIdak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. (Riwayat Ahmad)
           
Susunan Wali
            Yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut susunan yang akan di uraikan dibawah ini: karena wali-wali itu memang telah diketahui oleh orang yang ada pada masa turun ayat: “janganlah jamu menghalangi mereka menikah.”(Al-Baqarah: 232). Begitu juga hadis Ummu Salamah yang telah berkata kepada rasulullah,”Wali saya tidak ada seorang pun yang dekat.” Semua itu menjadi tanda bahwa wali-wali itu telah diketahui (dikenal), yaitu:
1.      Bapaknya
2.      Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan).
3.      Saudara laki-lakii yang seibu sebapak dengannya.
4.      Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.
5.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.
6.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saj dengannya.
7.      Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak)
8.      Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya.
9.      Hakim
Syarat Wali Dan Dua Saksi
            Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah orang-orang yang memiliki beberapa sifat berikut:[1]
1.      Islam, orang yang tidak beragama islam tidak sah menjadi wali atau saksi. Firman allah Swt:




Artinya: hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin mu. (Al-Maidah: 51)
2.    Baligh (sudah burumur sedikitnya 15 tahun)
3.    Berakal
4.    Merdeka
5.    Laki-laki, karena tersebut dalam hadis riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni di atas
6.    Adil
B. Syarat Sahnya Pernikahan
            Syarat sahnya pernikahan adalah syarat yang apabila terpenuhi, maka ditetapkan padanya seluruh hukum akad, (pernikahan). Syarat pertama adalah halalnya seorang wanita bagi calon suami yang akan menjadi pendampingnya. Artinya, tidak diperbolehkan wanita yang hendak dinikahi itu berstatus sebagai muhrimnya, denga sebab apapun, yang mengharamkan pernikahan diantar mereka berdua, baik itu bersifat sementara maupun selamanya. Syarat kedua adalah saksi yang kedua mencakup hukum kesaksian dalam pernikahan, syarat-syarat kesaksian dan kesaksian dari wanita yang bersangkutan.[2]
Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Islam
            a. Syarat umum
                Perkawinan itu tidak dilakukan yang bertentangan dengan larangan-larangan termaktub dalam ketentuan Q.II ayat 221 yaitu larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam surah Al-Maidah ayat 5 (Q.V: 5), Yaitu khusus laki-laki islam boleh mengawini perempuan-perempuan ahli kitab, seperti yahudi dan nasrani.kemudian tidak bertentangan dengan larangan-larangantersebut dalam Al-Qur’anul karim surah Al-Nisa ayat 22, 23 dan 24.[3]
            b. Syarat khusus
                Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan ini adalah suatu Conditio sine qua non (merupakan syarat mutlak), absolute, tidak dapat di mungkiri, bahwa logis dan rasional kiranya, karena tanpa calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan, tentunya tidak ada perkawinan.
            Kedua calon mempelai itu haruslah islam, akil baligh (dewasa dan berakal), sehat baik rohani maupun jasmani. Menurut penulis sebaiknya calon pengantin laki-laki itu usdah berusia 25 tahun sedangkan calon pengantin perempuan suda berusia 20 tahun atau sekurang-kurangnya 18 tahun
            c. Harus ada persetujuan bebas antara kedua calon pengantin, jadi tidak boleh perwakilan itu dipaksakan. Dari Ibnu Abbas ra, bahwa seorang perempuam perawan dating kepada nabi Muhammad saw. Dan menceritakan bahwa bapaknya telah mengawinkannya dengan seorang laki-laki, sedangkan ia tidak mau, maka Nabi menyerahkan keputusan itu kepada gadis itu, apakah mau meneruskan perkawinan itu atau minta cerai.
            d. Harus Ada Wali Nikah
                Menurut mazhab As Syafi’I, berdasarkan suatu hadis Rasul yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim (As Shahihani) dari Siti Aisyah, Rasul pernah mengatakan, tidak ada nikah tanpa wali. Tetapi menurut mazhab Imam Abu Hanifah, wanita dewasa tidak perlu pakai wali kalau hendak kawin. Hadis rasul menurut mazhab As Syafi’I juga berdasarkan hadis Rasul dari siti aisyah ra. Rasul bersabda, tiap wanita yang menikah tanpa izin dari wali nikahnya batal, diulangi batal, batal……..
(sampai tiga kali kata-kata batal itu diucapkan)
            e. Harus ada dua orang saksi, islam , dewasa dan adil.dalam al-qur’an tidak diatur secara tegas mengenai saksi nikah itu, tetapi didalam hal talak dan rujuk ada disebutkan mengenai saksi, maka dapat disimpulkan bahwa untuk membuktikan telah diadakan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, disamping adanya wali harus pula adanya saksi. Hal ini adalah penting untuk kemaslahatan kedua belah pihak, dan kepastian hukum bagi masyarakat, demikian juga baik suami maupun istri tidak demikian saja secara mudah dapat mengingkari ikatan perjanjian perkawinan yang suci tersebut. Sesuai pula dengan analogi Al-qur’an suroh Al-Baqarah ayat 282.
            f. Bayarlah Mahar (Mas Kawin)
               Hendaklah suami membayar mahar kepada istrinya seperti disebutkan dalam Al-qur’an surah Al-Nisa ayat 25 (Q. IV: 25) berikanlah mas kawin itu dengan cara yang patut
Q. IV: 24: istri yang kamu campuri berikanlah maharnya dengan cara yang patut (wajib).
Mahar menurut pendapa Umar Bin Khattab, khalifah kedua mendasar kepada Q. IV:4
Serahkanlah kepada istri itu mahar sebagai pemberian tanda suci. Q.IV:4; Berikanlah mas kawin sbagai pemberia yang wajib. Umar Bin Khattab sebagai khalifah kedua menyatakan tidak boleh kurang dari 10 dirham
            g. Sebagai proses terakhir dan lanjutan dari akad nikah ialah pernyataan ijab dan qabul. Ijab ialah suatu pernyataan kehendak dari calon pengantin wanita yang lazimnya diwakili oleh wali. Suatu pernyataan kehendak dari pihak perempuan untuk mengikatkan diri kepada seorang laki-laki sebagai siaminya secara formil, sedangkan Qobul artinya secara letterlijk adalah suatu pernyataan penerimaan dari pihak laki-laki atas ijab pihak perempuan. Itulah syarat-syarat dan rukun-rukun untuk sahnya perkawinan menurut Hukum Islam.
Di samping itu untuk memformuering secara resmi dalam masyarakat maka setelah selesai upacara akad nikah dengan proses sampai ijab qabul, disunatkan pula mengadakan walimah (berwalimah) atau pesta perkawinan tetapi tidak wajib hukumnya, seperti dikemukakan dalam hadis Rasul yang diriwayatkan oleh Anas Bin Malik yang menceritakan bahwa sesudah perkawinan Nabi Muhammad dengan Safiyah Binti Hujai Bin Akhtab setelah selesai perang kahibar. Nabi Muhammad berkata: Beritahukanlah, Umumkanlah kepada orang sekeliling kamu perkawinan kita. Begitupun hadis qouliyah Rasul yang berbunyi: berwalimahlah kamu walaupun hanya menyediakan makanan yang terdiri dari kaki kambing. Walimah artinya pesta perkawinan untuk pengumumannya kepada masyarakat.


[1] H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam,  (Bandung : Sinar baru Al-gensindo, 1986), hlm.382-384.
[2] Syaikh kamil Muhammad Uwaidah, Fiqh Wanita, (Jakarta Timur : Pustaka al-Kautsar, 1998), hlm. 429
[3] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : PT. Bumi aksara, 1996), hlm. 49-54

Postingan populer dari blog ini

TO BE AND AUXILIARY VERB

ISLAM SEBAGAI AJARAN, PEMAHAMAN DAN PENGAMALAN

Etika Guru Terhadap Atasan (Pemimpin)