PEMIKIRAN PENDIDIKAN AL-FARABI
PEMIKIRAN PENDIDIKAN
AL-FARABI
I. Pendahuluan
Al-Farabi adalah salah satu pemikir
dalam pendidikan islam yang dikenal juga sebagai guru kedua setelah
Aristoteles. Dimana dalam kehidupannya Al-Farabi selalu menimba ilmu
pengetahuan baik ilmu agama dan umum. Dengan berbagai ilmu yang diperolehnya,
Al-Farabi menjadi seorang ahli filosof yang terkenal.
Dalam perjalanan hidupnya, Al-Farabi
tidak begitu puas dengan ilmu yang diperolehnya ditempat ia dilahirkan,
sehingga ia bermukim di kota Bagdad untuk belajar bersama para filosof dan
sarjana kenamaan lainnya. Oleh karena itu, kegigihan Al-Farabi sehingga ia
disebut seorang ahli filsafat.
Untuk lebih jelasnya dalam memahami
kehidupan al-Farabi, maka dalam makalah yang sederhana ini penulis akan
mengulas perjalanan Al-Farabi tentang biografi, latar belakang pemikirannya,
karya-karya dan lain-lain.
II. Pembahasan
A. Riwayat Hidup Al-Farabi
AL-Farabi nama lengkapnya Abu Nashr
Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkan ibn Auzalagh. Dikalangan orang-orang latin
abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr. Ia lahir di Wasy,
distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar), Tukistan pada 257 H (870
M). Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan
Turki.[1]
Beliau adalah seorang Tabib yang
kenamaan, seorang ahli ilmu pasti dan seorang filsuf yang ulung. Ia juga
terkenal sebagai ahli dalam bahasa Arab, Parsi, Suria, dan Turki. Beliau
melebihi Al-Kindi baik memberi penjelasan dan tafsir umum maupun dalam
menerjemahkan dan menyusun kembali dari sisi kitab-kitab filsafat Yunani.
Dengan demikian maka beliau dianggap sebagai yang paling terpelejar dan tajam
diantara para komentator karya Aristoteles. Karangan beliau tidak kurang dari
128 kitab. Kemudian beliau wafat pada usia 80 tahun tepat 337 H (950 M).[2]
B. Latar Belakang
1. Internal
- Pendidikan Al-Farabi
Sejak kecilnya, Al-Farabi suka belajar dan ia
mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang
dikuasainya antara lain ialah bahasa-bahasa Iran, Turkestan, Arab, dan Kurdistan.
Setelah besar, Al-Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju kota Bagdad, pusat
pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya untuk belajar antara lain pada
Abu Bisyr bin Mattius. Selama berada di Bagdad ia memusatkan perhatiannya
kepada ilmu logika.
Pada waktu pertama datang di Bagdad, ia hanya dapat
menguasai sedikit bahasa Arab. Disana Al-Farabi dapat belajar ilmu nahwu dengan
Abu Bakar As-Saraj sebagai imbalan pelajaran ilmu logika yang diberikan oleh
Al-Farabi kepadanya.[3]
Maka pendidikan dasar Al-Farabi adalah keagamaan dan bahasa. Dalam bidang agama
Al-Farabi mempelajari Fiqih, Hadits dan Tafsir al-Qur’an, sedangkan dalam
bidang kebahasaan yaitu bahasa Arab, Turki dan Parsi.
Setelah Al-Farabi berkumim di kota Bagdad selama 20
tahun ia tertarik oleh pusat kebudayaan di Aleppo. Disana beliau berjumpa
dengan orang-orang brilian dan para sarjana, istana Saif Al-Daulah berkumpul
para penyair ahli bahasa, filosof, dan sarjana-sarjana kenamaan lainnya. Meski
ada simpati kuat kearahan dari istana tersebut namun cultural yang ada di
dalamnya. Mereka berdiskusi dan berdebat, sepakat atau berbeda pendapat tanpa
mencari keuntungan dalam menimba ilmu pengetahuan. Dari istana Al-Farabi
tinggal dan merupakan orang pertama dan terkemuka sebagai sarjana dan pencari
kebenaran.[4]
- Kiprah Al-Farabi di Masyarakat
Dalam kehidupannya Al-Farabi sangat sibuk menyelami
berbagai ilmu pengetahuan, sehingga ia kurang prihatin dalam berinteraksi
dengan masyarakat. Al-Farabi lebih menyukai mendalami ilmu logika serta
filsafat dan bergabung belajar bersama dengan para filosof baik berkaitan
dengan ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum.
Dan sesuai dengan pemahaman penulis bahwa catatan
sejarah al-Farabi adalah pembangun agung system filsafat, dimana ia telah
membangkitkan diri untuk berfikir dan merenung menjauh dari kegiatan politik,
gangguan dan kisruhan masyarakat.[5]
2. Eksternal
- Sosial Politik
Al-Farabi berpendapat bahwa ilmu politik adalah ilmu
yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara hidup, watak, dan akhlak.
Kebahagiaan manusia diperoleh karena perbuatan cara hidup yang dijalankan.
Jadi, Al-Farabi mengungkapkan bahwa kebahagiaan yang hakiki sebenarnya tidak
mungkin dapat diperoleh sekaang (di dunia ini) akan tetapi itu dapat diperoleh
diakhirat kelak.
Suatu kepemimpinan tumbuh dari keahlian dan pembawaan
manusia. Hal ini dapat mengarahkan manusia dalam menegakkan nilai-nilai utama
dan tindakan-tindakan yang bakal memelihara sebagai kemantapan-kemantapan. Jika
dipandang dari kemampuan suatu pemerintahan ilmu politik terbagi dua yaitu :
1)
Kemampuan dalam melahirkan
peraturan-peraturan yang bersifat universal.
2)
Kemampuan yang disebabkan oleh
adanya ketekunan dalam aktivitas politik, dengan harapan bisa menjadi
kebijaksanaan.[6]
Pemikiran
Al-Farabi bukan begitu ideal tentang kenegaraan, hal ini disebabkan
Al-Farabi lebih menyenangi berkhalwat, menyendiri sehingga ia tidak mempunyai
peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan.[7]
- Kondisi Intelektual
Pandangan Al-Farabi mengenai daya imajinasi layak
mendapat perhatian serius karena peran imajinasi kenabibian dan ketuhanan.
Menurut Al-Farabi imajinasi merupakan daya penyimpan dan penimbang yang
bertanggung jawab atas penyimpangan citra atau kesan hal-hal yang dapat di
indra.
Dengan daya imajinasi yang kuat para nabi / rasul
dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh panca indra yang negative, seperti
: melihat sesuatu yang dapat menimbulkan kerusakan dalam berfikir. Jika ia
dapat menjaga panca indranya maka tuntutan-tuntutan untuk memusatkan perhatian
dan dapat mengadakan hubungan dengan akal yang disebut akal aktif ( ). Oleh
karena itu filosof dan nabi mendapat pengetahuan mereka dari sumber yang satu
yaitu akal aktif. Maka pengetahuan filsafat dan wahyu yang diterima nabai bisa
bertentangan.
Filsafat ini dimajukan Al-Farabi untuk menentang
aliran yang tak percaya kepada nabi dan rasul.[8]
- Karya-Karyanya
Al-Farabi yang terkenal sebagai filsuf islam terbesar,
memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara
utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang
datang sesudahnya, seperti ibn Sina dan Ibn Rusdy banyak mengambil dan mengupas
filsafatnya. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Ibn Sina telah membaca 40 kali
buku metafisika karangan Aristoteles, bahkan seluruh isi buku itu dihapalnya
tapi belum dipahaminya. Barulah Ibn Sina memahami benar filsafat Aristotels
setelah membaca buku Al-Farabi yang judulnya “Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab
ina Ba’da al-Thabiah” yang menjelaskan tujuan dan maksud metafisika
Aristoteles. Pengetahuannya mengenai filsafat Yunani, terutama Plato dan
Aristoteles, ia dijuluki Al-Muallim Al-Tsnai (guru kedua) sedangkan Al-Muallimk
al-Awwal (guru pertama) adalah Aristoteles.
Disamping karya yang disebutkan di atas, karya Al-Farabi
antara lain :
1)
Syuruh risalah aainun al-kabir
al-Yunani
2)
Al-Ta’liqat
3)
Risalah fina yajibu ma’rifat qabla
ta’allumi al-falsafah
4)
Kitab tahshil al-sa’adan
5)
Risalah fi itsbat al-mufaraqah.
C. Pemikiran-Pemikiran Al-Farabi
Selain dari pendidikan dan bakat yang
dilalui dan dimilikinya, lingkungan juga turut menentukan jalan fikirannya.
Dewasa itu filsafat sudah berkembang sedemikian rupa, kajian-kajian ilmiah
sudah demikian maju, lebih-lebih dengan adanya batul hikmah. Kemajuan dan
kebebasan berfikir dalam dunia islam ketika itu membenarkan dampak positif
kepada Al-Farabi untuk tempil sebagai filosof yang menguasai berbagai cabang
ilmu seperti : ilmu alam, matematika, astronomi dan lain-lain.
Analisa-analisa tentang filsafat
Yunani yang diterimanya dari guru-gurunya atau yang dibacanya dari
risalah-risalah Al-Kindi dan buku-buku filsafat yang sudah banyak diterjemahkan
orang ke dalam bahasa Arab sungguh mempengaruhi pemikiran Al-Farabi. Diantara
aliran filsafat Yunani yang mempengaruhinya ialah filsafat Plato, Aristoteles,
dan Neoplatonisme. Misalnya : tentang teori Negara utama ia dipengaruhi
filsafat Plato, dalam soal metafisika ia dipengaruhi oleh Aristoteles dan
mengenai Emanasi ia dipengaruhi oleh Platinus.
Selain itu ia sebagai seorang muslim
yang telah mempelajari pelajaran agama dengan baik ia pun mendapat pengaruh
dari ajaran tersebut. Disini Al-Farabi juga menyesuaikan filsafatnya dengan
ajaran islam, seperti : filsafatnya tentang kenabian ia mengakui adanya nabi,
dan nabi itu lebih tinggi dari filosof. Dimana maksudnya nabi mempunyai
mukzijat sedangkan filosof hanya menggunakan akal pikiran untuk berfilsafat.
Dengan demikian dasar pemikiran filsafat yang digunakan Al-Farabi yaitu
memadukan ajaran filsafat dengan ajaran agama.[9]
D. Analisis
a. Kekuatan
Setelah memahami dan memaparkan
tentang riwayat hidup serta pendidikan yang dilalui Al-Farabi, penulis dapat
menjelaskan bahwa adanya suatu keinginan serta kekuatan yang dimiliki Al-Farabi
dalam berfilsafat sebagai ia disebut al-Muallim al-tsani (guru kedua).
b. Kelemahan
Kita ketahui bahwa Al-Farabi
merupakan orang pertama dan terkemuka sebagai sarjana dan pencari kebenaran.
Akan tetapi disamping itu Al-Farabi memiliki kelemahan dalam politik kenegaraan
disebabkan karena ia lebih sibuk dalam urusan menimba ilmu pengetahuan untuk
mengembangkan ilmu logika yang dimilikinya.
c. Kontribusi
Sesuai dengan penjelasan di atas,
walaupun Al-Farabi lemah dalam kegiatan kenegaraan. Maka sebaiknya Al-Farabi
harus berusaha lebih ikut serta dalam kegiatan kenegaraan. Karena kita ketahui
bahwa, kita hidup dan tinggal dalam wilayah suatu Negara dan yang memiliki
pemerintahan.
BAB III. Kesimpulan
Al-Farabi nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad Ibn Tarkhan ibn
Auzalagh. Pendidikannya sejak kecil suka belajar dan ia mempunyai kecakapan
luar biasa dalam lapangan bahasa. Adapun karya-karyanya antara lain :
-
Syuruh risalah aainun al-kabir
al-yunani
-
Al-ta’liqat
-
Risalah fima yajibu ma’rifat qabla
ta’alullmi Al-Falsafah.
Adapun pemikiran filsafat Al-Farabi dipengaruhi oleh filsafat Yunani
seperti : filsafat Plato, Aristoteles, dan Neoplatanisme.
[1]
Hasyimsyah Nasution. Filsafat Islam, (Jakarta
: gaya Media Pratama, 1999), hlm. 32.
[2]
Sudarsono. Filsafat Islam, (Jakarta :
PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 32.
[3] Ibid., hlm. 32.
[4]
M.M. Syarif. Para Filosof Muslim, (Bandung
: Mizan, 1998), hlm. 57.
[5]
Thawil Akhyar Dasoeki. Sebuah Kompilasi
Filsafat Islam, (Semarang : CV. Toha Putra, 1993), hlm. 27.
[6] H.
A. Mustofa. Filsafat Islam, (Bandung
: Pustaka Setia, 2004), hlm. 131.
[7]
Hasyimsyah Nasution. Op. cit., hlm.
43.
[8]
Harun Nasution. Filsafat dan Mistisme
Dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), hlm. 31-32.
[9]
Yumisril Ali. Perkembangan Pemikiran
Falsafi Dalam Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), hlm. 42.