HAKIKAT MANUSIA DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


HAKIKAT MANUSIA DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A.    Pendahuluan
Pemikiran tentang hakikat manusia sejak zaman dahulu kala sampai zaman modern sekarang ini juga belum berakhir dan munkin tak akan pernah berakhir. Ternyata orang menyelidiki manusia itu dari berbagai sudut pandang. Ada yang menyelidiki manusia dari segi fisik yaitu antropologi fisik, adapula yang menyelidiki dengan sudut pandang budaya yaitu antropologi budaya. Sedangkan yang menyelidiki manusia dari sisi hakikatnya disebut antropologi filsafat.

Memikirkan dan membicarakan hakikat manusia inilah yang menyebabkan orang tak henti-hentinya berusaha mencari jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan yang mendasar tentang manusia itu sendiri, yaitu apa dari mana dan mau kemana manusia itu.
Oleh karena itu pada makalah ini kami akan membahas tentang hakikat manusia dalam filsafat pendidikan islam yang meliputi hakikat Allah menciptakan manusia, apa hakikat manusia, mengapa manusia memerlukan pendidikan, dan mengapa manusia bisa di didik. Semoga dengan pembhasan ini dapat menambah wawasan bagi kita dalam memahami hakikat diri kita sebagai manusia di muka bumi ini.
B.     Hakikat Allah Menciptakan Manusia
Manusia disisi Allah adalah sebagai salah satu ciptaan (makhluk) Allah. Sebagaimana dalam QS. 96 : 2“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” QS. 2 : 21“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.”
Makna yang paling mendasar yang dapat diambil dari hal ini (manusia sbg makhluk) adalah bahwa manusia memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sesungguhnya semua yang diciptakan oleh Allah memiliki kekurangan dan keterbatasan. Sedangkan Allah Maha Sempurna, tidak memiliki kekurangan, keterbatasan atau kelemahan.Yang menunjukkan hal tersebut adalah ucapan “Subhanallah”, “Maha Suci Allah dari serba kekurangan dan keterbatasan”. Oleh karena itu tidaklah pantas manusia sebagai ciptaan untuk menyombongkan dirinya. Allahlah yang pantas untuk sombong, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Sempurna.
Allah swt memeberikan keutamaan lebih kepada manusia dari pada makhluk yang lain. Manusia dilantik menjadi Abdullah dan Khalifatullah dimuka bumi ini untuk memakmurkannya. Oleh karena itu dibebenkan kepada manusia amanah Attaklif, dan diberikankan pula kebebasan dan tanggung jawab memiliki serta memelihara nilai-nilai kemuliaan.
Kemuliaan yang diberikan bukanlah karena bangsanya, warna kulitnya, kecancikannya, perawakannya, harta, derajatnya, akan tetapi semata-mata karena iman dan dan taqwanya kepada Allah swt.
Semua itu dijelaskan dalam al-qur’an surat al-baqarah ayat 21 [1]
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Y9$# (#rßç6ôã$# ãNä3­/u Ï%©!$# öNä3s)n=s{ tûïÏ%©!$#ur `ÏB öNä3Î=ö6s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇËÊÈ
21.  Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,


Dan ayat 30
ŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿãƒ
$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès?
30.  Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Allah swt juga menjelaskan hakikat ciptaan manusia dalam surat az-zariyat ayat 56 yang artinya “ Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku ”

  1. Hakikat Manusia
Hakikat manusia menurut al-Qur’an ialah bahwa manusia itu terdiri dari unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani. Ketiga unsur tersebut sama pentingnya untuk di kembangkan. Sehingga konsekuensinya pendidikan harus di desain untuk mengembangkan jasmani, akal, dan ruhani manusia.
Unsur jasmani merupakan salah satu esensi ( hakikat ) manusia sebagai mana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-baqarah ayat 168 yang artinya “ Hai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat dari bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan karena sesungguhnya syuetan itu adalah musuh yang nyata bagimu “
Akal adalah salah satu aspek terpenting dalam hakikat manusia. Akal digunakan untuk berpikir, sehingga hakikat dari manusia itu sendiri adalah ia mempunyai rasa ingin, mempunyai rasa mampu, dan mempunyai daya piker untuk mengetahui apa yang ada di dunia ini.
Sedangkan aspek ruhani manusia di jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hijr ayat 29 yang artinya “ Tatkala aku telah menyempurnakan kejadiannya, aku tiupkan kedalamnya ruhku.kedalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud “

Dalam hal ini muhammad Quthub menyimpulkan bahwa eksistensi manusia adalah jasmani, akal, dan ruh, yang mana ketiganya menyusun manusia menjadi satu kesatuan.
Definisi tentang manusia akan banyak kita jumpai dalam berbagai literatur, terutama pada kajian filsafat dan antropologi. Dalam bidang Humaniora, Dr. Alexis Carrel (peletak dasar humaniora barat) mengatakan bahwa manusia adalah makhluq yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya.[2] Sementara itu, Sastraprateja mendefinisikan manusia sebagai makhluq yang historis. Menurutnya, hakikat manusia sendiri adalah suatu sejarah, suatu peristiwa yang semata-mata datum. Hakikat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarahnya, dalam sejarah perjalanan bangsa manusia.[3]
Lain halnya dengan al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, beliau mendefinisaikan manusia sebagai yang diciptakan dari satu gumpalan yang Allah gumpalkan dari segala unsur tanah, yang tanah itu terdapat segala unsur yang baik, yang kotor, yang mudah, yang sedih, yang mulia, dan yang hina.[4] Al-Imam Ibnu Qayyim mendefinisikan manusia pada hakikat penciptaannya. Berangkat dari asal penciptaannya, terlihat bahwa berbagai potensi ada pada diri seorang manusia. Potensi baik, buruk, hina, mulia termasuk angel tendention dan devil tendention ada pada manusia.

  1. Manusia Memerlukan Pendidikan
Bagi filsafat pendidikan penentuan sikap dan tanggapan tentang manusia merupakan hal yang amat penting dan vital. Sebab manusia merupakan unsur terpenting dalam usaha pendidikan. Tanpa tanggapan dan sikap yang jelas tentang manusia pendidikan akan merasa raba.
Bahkan pendidikan itu sendiri itu dalam artinya yang paling asas tidak lain adalah usaha yang dicurahkan untuk menolong manusia menyingkap dan menemukan rahasia alam memupuk bakat dan dan mengarahkan kecendrungannya demi kebaikan diri dan masyarakat . usaha itu berakhir dengan berlakunya perubahan yang di kehendaki dari segi social dan psikologis serta sikap untuk menempuh hidup yang lebih berbahagia dan berarti.
Manusia mengalami proses pendidikan terus berlangsung sampai mendekati waktu ajalnya. Proses pendidikan adalah life long education yang dilihat dari segi kehidupan masyarakat dapat dikatakan ebagai proses yang tanpa akhir.
Bila dipandang dari segi kemampuan dasar pedagogis, manusia dipandang sebagai “homo edukadum” mahluk yang harus dididik, atau bisa disebut “animal educabil ” mahluk sebangsa binatang yang bisa dididik, maka jelaslah bahwa manusia itu sendiri tidak dapat terlepas dari potensi psikologis yang dimiliknya secara individual berbeda dalam abilitas dan kapabilitasnya, dari kemampuan individual lainnya. Dengan berbedanya kemampuan untuk dididk itulah fungsi pendidikan pada hakikatnya adalah melakukan seleksi melalui proses pendidikan atas pribadi manusia.
Dari segi sosial psikologis manusia dalam proses pendidikan juga dapat dipandang sebagai mahluk yang sedang tumbuh dan berkembangdalam proses komonikasi antara individualitasnya dengan orang lain atau lingkungan sekitar dan proses membawanya kea rah pengembangan sosialitas dan moralitasnya. Sehingga dalam proses tersebut terjadilah suatu pertumbuhan atau perkembangan secara dealiktis atau secara interaksional antara individualitas dan sosialitas serta lingkungan sekitarnya sehingga terbentuklah suatu proses biologis, sosiologis, dan psikologis.[5]
  1. Manusia Bisa Dididik
Kemampuan belajar manusia sangat berkaitan dengan kemampuan manusia untuk mengetahui dan mengenal terhadap obyek-obyek pengamatan melalui panca indranya. Membahas kemampuan mengetahui dan mengenal tidak dapat terlepas dari filsafat dalam bidang epistimologi. Karena filsfat ini menunjukkan kepada kita betapa dan sejauh mana manusia dapat mengetahui dan mengenal obyek-obyek pengamatan disekitarnya. Apa pengetahuan itu, cara mengetahui, dan memperoleh pengetahuan serta berbagai jenis pengalaman indrawi.
Panca indera manusia adalah merupakan alat kelengkapan yang dapat membuka kenyataan alam sebagai sumber pengetahuannya yang memunkinkan dirinya untuk menemukan hakikat kebenaran yang diajarkan oleh agamanya atau oleh Tuhannya. Panca indera manusia merupakan pintu gerbang dari pengetahuan yang makin berkembang. Oleh karena itu Allah mewajibkan panca indera manusia untuk digunakan menggali pengetahuan.
 Dalam hal ini islam lebih cenderung untuk menegaskan bahwa perpaduan antara kemampuan jiwa dan kenyataan materi sebagai realita merupakan sumber proses “mengetahui” manusia yang keduanya merupakan “kebenaran”menurut ukuran proses hidup manusiawi bukan Ilahi. Kebenaran yang hakiki hanyalah Tuhan sendiri, dan kebenaran hakiki inilah yang menciptakan segala kenyataan alami dan manusiawi dengan diberi mekanisme hukum-hukumnya sendiri. Bila Ia menghendaki mekanisme itu bisa di rubah menurut kehendaknya.
  1. Konsep Fitrah Manusia
Al-Qur’an memandang bahwa manusia adalah makhluk biologis, psikologis dan sosial. Manusia sebagai basyar tunduk pada taktir Allah, sama dengan makhluk lainnya. Manusia sebagai insan dan al-nas bertalian dengan hembusan illahi atau roh Allah yang memiliki keterbatasan dalam memilih untuk tunduk atau menentang takdir Allah. Pemikiran tentang hakikat manusia dibahas dalam filsafat manusia. Agaknya, manusia sendiri tak henti-hentinya memikirkan dirinya sendiri dan mencari jawab akan apa, dari mana dan mau kemana manusia itu. Pemahaman yang tak utuh tentang manusia dapat berakibat fatal bagi perl;akuan seseorang terhadap sesamanya, misalnya saja pandangan bahwa manusia merupakan fase lanjutan dari spesies tertentu yang mengalami evolusi dan natural selection, akan berimpikasi pada keyakinan bahwa manusia akan terus berkembang menuju penyempurnaan spesies.
Meskipun Islam memandang dalam dua dimensi, yakni jasad dan roh atau mateial dan spritual, lebih dari itu, Islam secara tegas mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah, dapat dididik dan mendidik, hamba Allah yang mulia, berfungsi sebagai pemimpin atau pengelola bumi, dan terakhir dalam keadaan suci atau memiliki kecendrungan menerima agama atau fitrah. Berbeda dengan binatang yang Cuma memiliki nafsu dan insting hewani, nafsu yang ada dalam diri manusia diimbangi dengan potensi akal untuk berfikir dan menimbang apakah sesuatu itu baik atau buruk, membahayakan atau tidak, sedemikian hingga manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya tadi dan tidak berjerumus pada perbuatan tercela. Muslim kaffah tidaklah identik dengan superman dan spideman yang ditokohkan sebagai pahlawan pembela kebenaran dan kekuatan super tak terkalahkan. Gambaran manusia seperti itu menyesatkan, karena disamping manusia memiliki keistimewaan juga memiliki kelemahan.
Kesadaran bahwa manusia hidup didunia sebagai makhluk ciptaan Allah dapat menumbuhkan sikap andap asor dan mawas diri bahwa dirinya bukanlah tuhan. Oleh sebab itu ia melihat sesama manusia sebagai sesama makhluk, tidak ada perhambaan antarmanusia. Jadi, seorang istri tidak menghamba pada suami, dan seorang rakyat tidak menghamba pada pemerintah. Baginya, yang patut menerima penghambaan dari manusia tak lain adalah Allah. Justru, Allah tidak menciptakan manusia selain untuk menghamba atau beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tidak berlaku konsep manusia sebagai homo homoni lapas atau manusia sebagai pemangsa bagi manusia yang lain. Tidak ada keistimewaan antara manusia dengan manusia yang lain kecuali karena ketaqwaannya kepada Allah. Meskipun demikian, kelebihan dan kemuliaan manusia tidaklah bersifat babadi, tergantung pada sikap dan perbuatannya. Jika manusia tersebut berbuat kerusakan dan berakhlak madzmumah, karunia kemuliaan berupa akal, hati dan panca inderanya tidak dipergunakan semestinya, maka predikat kemanusiaannya turun ketingkat yang paling rendah, bahwa lebih rendah dari hewan ternak. Disamping kelebihan, manusia memiliki aspek kelemahan misalnya kikir, paling banyak membantah, penuh keluh kesah, memiliki hawa nafsu yang mengajak pada kejahatan, mudah putus asa dan tidak berterimakasih. Sebagai hamba Allah, manusia memikul tanggung jawab pribadi, orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan pada hari kiamat nanti mereka datang kepada Allah dengan sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa manusia sebagai hamba Allah itu memiliki kebebasan individual atas dirinya sendiri namun tetap bertanggung jawab atas segala perbuatanya.
Sebagai khalifah, manusia muslim dimaksudkan tampil dibumi ini dengan wajahnya yang ramah dan anggun untuk memimpin, mengelola dan memakmurkan bumi. Bila hal tersebut tidak dilakukan, maka fungsi khalifah tadi dapat diambil oleh manusia dan golongan yang lain.[6]
Banyak yang mengartikan bahwa bayi yang lahir itu fitrah artinya suci. Jiwa anak tersebut cenderung kepada agama tauhid. Ketika terjadi penyimpangan dalam perkembangan anak itu untuk tidak lagi cenderung kepada agama tauhid, para ulama berargumentasi bahwa hal itu disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
  1. Pengaruh adat dan pergaulan (Mahmud Yunus)
  2. Pengaruh lingkungan (Al-Qur’an dan terjemahnya, Depag)
  3. Pengaruh hawa nafsu dan kekuasaan (Bakri Syahid)
  4. Adanya pendidikan (A. Hassan)
  5. Guru dan mengajarnya (al-Maraghi)
  6. Perbuatan atau usaha kedua orang tuanya (H.R. Bukhari Muslim)
Untuk pengertian suci, bersih, bukan berarti bahwa fitrah disini sama dengan tabularasanya Jonh Locke (1632-1704). Meskipun fitrah punya arti suci-bersih, tetapi fitrah tidak kosong. Fitrah berisi daya-daya yang wujud dan perkembangannya tergantung pada usaha manusia sendiri. Oleh karena itu fitrah harus dikembalikan dalam bentuk-bentuk keahlian, laksana emas atau minyak yang terpendam di perut bumi, tidak ada gunanya kalau tidak digali dan diolah untuk kegunaan manusia. Disinilah letaknya tugas utama pendidikan. Sedangkan pendidikan sangat dipengaruhi faktor  pembawaan dan lingkungan (nativisme dan empirisme). Namun ada perbedaan esensial antara pendidikan islam dengan pendidikan umum. Pendidikan islam berangkat dari filsafat  pendidikan theocentric, sedangkan  pendidikan umum berangkat dari filsafat anthropocentric.
Theocentric memandang bahwa semua yang ada diciptakan oleh Tuhan, berjalan menurut hukum-Nya. Filsafat ini memandang bahwa manusia dilahirkan sesuai dengan dengan fitrah-Nya dan perkembangan selanjutnya tergantung pada lingkungan dan pendidikan yang diperoleh. Sedang seorang pendidik atau guru hanya bersifat membantu, serta memberikan penjelasan-penjelasan yang sesuai dengan tahap perkembangan pemikiran dan akhirnya pelajar sendirilah yang belajar. Sedangkan filsafat anthropocentric lebih mendasarkan ajarannya pada hasil pemikirin manusia dan berorientasi pada kemampuan manusia dalam hidup keduniawiyan.
Sehubungan dengan ini, maka persamaan dan perbedaan pendidikan islam dan aliran empirisme ialah: pertama, keduanya sepakat bahwa anak yang baru lahir adalah bersih dan suci, ibarat kertas putih yang siap ditulis oleh pendidik. Kedua, karena adanya perbedaan konsep antara fitrah dengan teori tabularasa, maka peranan pendidik dalam konsep pendidikan islam lebih terbatas dibandingkan dengan peranan pendidik dalam aliran empirisme, dalam membentuk dan mengembangkankepribadian anak didik tersebut.
Persamaan dan perbedaan pendidikan islam dengan aliran nativisme: pertama, keduanya mengakui pentingnya faktor pembawaan, sehingga anak didik berperan besar dalam membentuk dan mengembangkan kepribadiannya. Kedua, dalam pendidikan islam karena adanya nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak, maka pendidik bukan hanya sekedar pembantu tetapi ia bertanggungjawab akan terbentuknya kepribadian muslim pada anak didik.
Persamaan dan perbedaan pendidikan islam dengan konvergensi: pertama, keduanya mengakui pentingnya factor endogen dan eksogen dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian anak didik. Kedua, perbedaannya, dalam islam kemana kepribadian itu harus dibentuk dan dikembangkan sudah jelas, yaitu ma’rifatullah dan bertakwa kepada-Nya.sedangkan dalam pendidikan yang berdasarkan anthropocentric pembentukan dan pengembangan kepribadian diarahkan untuk mencapai kedewasaan dan kesejahteraan hidup didunia.
Berbeda dengan faham materialisme (faham kebendaan) yang meyakini bahwa manusia mati berarti hilangnya eksistensi manusia secara total. Dalam islam, sebagaimana disampaikan oleh Mastuhu, fitnah manusia itu setelah mati akan kembali kepada Allah SWT. Upaya pengembangan fitrah manusia dalam seluruh aspek yang meliputi spiritual, intelektual, dan keterampilan yang dapat  dimanfaatkan untuk kemajuan dan kesejahteraan hidup (individu dan sosial) dalam tugasnya sebagai khalifah Allah SWT, diwujudkan dalam rangka memenuhi tujuan yang satu  yaitu mengabdi kepada-Nya. Oleh karena itu fitrah harus tetap dikembangkan secara wajar bila mana mendapatkan bimbingan yang dijiwai oleh wahyu. Tentu saja hal ini harus didorong dengan pemahaman islam secara kaffah. Semakin tinggi tingkat interaksi seseorang dengan islam semakin baik pula perkembangan fitrahnya.
Dalam ketentuannya-Nya, Allah menunjukkan dua macam jalan, yaitu jalan yang benar dan jalan yang sesat, dan manusia diberi kebebasan untuk memilih antara  dua jalan tersebut. Atas dua macam jalan ini ada kalanya manusia itu bersyukur, ada kalanya manusia itu kufur atau mengingkari kebenaran yaitu memilih jalan yang sesat. Ketentuan Allah menunjukkan bahwa setiap manusia diberi dua kecenderungan, yaitu kecenderungan nafsu untuk menjadikannya kafir yang ingkar terhadap tuhannya dan kecenderungan yang membawa sikap bertaqwa menaati perintah-Nya. Ayat ini dapat dijadikan sumber pandangan bahwa usaha mempengaruhi jiwa manusia  melalui pendidikan dapat berperan positif untuk mengarahkan perkembangan kepada jalan kebenaran yaitu islam, dengan tanpa melalui usaha pendidikan. Manusia akan terjerumus kejalan yang salah atau sesat yaitu kafir, dengan kata lain mengingkari “fitratallah”, meskipun ketentuan Allah itu bukan suatu paksaan.
Jelaslah bahwa faktor kemampuan memilih  yang terdapat didalam fitrah manusia (human nature) berpusat pada kemampuan berfikir sehat (berakal sehat), karena akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dari yang salah. Sedangkan seseorang yang mampu menjatuhkan pilihan secara tepat hanyalah orang yang berpendidikan sehat. Dengan demikian berfikir benar dan sehat adalah merupakan fitrah yang dapat dikembangkan melalui pendidikan dan latihan. Sejalan dengan interpretasi ini maka dapat dinyatakan bahwa pengaruh faktor lingkungan yang disengaja yaitu pendidikan dan latihan berproses secara interaktif dan linier dengan kemampuan fitrah manusia. Dalam pengertian ini pendidikan islam berproses secara konvergensis (convergen: bertemu, berpadu), yang dapat membawa kepada faham konvergensi  dalam pendidikan islam.
  1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa pada hakikatnya Allah swt menciptakan manusia di muka bumi ini adalah semata-semata untuk mengabdi kepada-Nya dan untuk menjadi khalifah dimuka bumi. Hakikat penciptaan manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani, yang mana ketiga unsur tersebut menjadi satu kesatuan pada diri manusia.
Sebagai makhluk yang dibekali dengan berbagai kelebihan jika dibandingan denagn makhluk lain, sudah sepatutnya manusia mensyukuri anugrah tersebut dengan berbagai cara, diantaranya dengan memaksimalkan semua potensi yang ada pada diri kita. Kita juga dituntut untuk terus mengembangkan potensi tersebut dalam rangka mewujudkan tugas dan tanggung jawab manusia sebagai makhluk dan khalifah di bumi.




[1] Al- Aliyy, Al-Qur’an dan terjemahannya. (Bandung : CV Diponegoro, 2005).

[2] Prof. Dr. Abuddin Nata, MA, Filasafat Pendidikan Islam, Gama Media Pratama: Jakarta, (2005), Hal: 81
[3] Ibid. Hal: 80
[4] Anas Abdul Malik al-Quz, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Manusia dan Semesta, Pustaka Azzam: Jakarta, (2001), Hal: 21

[5] Ahmad Tafsir., Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam .(Bandung:: PT. Remaja Rosdakarya., 2001). Hlm 31

[6] Zuhairini. Dra, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II,( Jakarta : Bumi Aksara, 1995).hlm. 71-75

Postingan populer dari blog ini

TO BE AND AUXILIARY VERB

ISLAM SEBAGAI AJARAN, PEMAHAMAN DAN PENGAMALAN

Etika Guru Terhadap Atasan (Pemimpin)