HAKIKAT MANUSIA DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
HAKIKAT MANUSIA DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
A. Pendahuluan
Pemikiran
tentang hakikat manusia sejak zaman dahulu kala sampai zaman modern sekarang
ini juga belum berakhir dan munkin tak akan pernah berakhir. Ternyata orang
menyelidiki manusia itu dari berbagai sudut pandang. Ada yang menyelidiki manusia dari segi fisik
yaitu antropologi fisik, adapula yang menyelidiki dengan sudut pandang budaya
yaitu antropologi budaya. Sedangkan yang menyelidiki manusia dari sisi
hakikatnya disebut antropologi filsafat.
Memikirkan
dan membicarakan hakikat manusia inilah yang menyebabkan orang tak
henti-hentinya berusaha mencari jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan yang
mendasar tentang manusia itu sendiri, yaitu apa dari mana dan mau kemana
manusia itu.
Oleh karena
itu pada makalah ini kami akan membahas tentang hakikat manusia dalam filsafat
pendidikan islam yang meliputi hakikat Allah menciptakan manusia, apa hakikat manusia,
mengapa manusia memerlukan pendidikan, dan mengapa manusia bisa di didik.
Semoga dengan pembhasan ini dapat menambah wawasan bagi kita dalam memahami
hakikat diri kita sebagai manusia di muka bumi ini.
B. Hakikat
Allah Menciptakan Manusia
Manusia disisi Allah adalah sebagai salah satu ciptaan
(makhluk) Allah. Sebagaimana dalam QS. 96 : 2“Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah.” QS. 2 : 21“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah
menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.”
Makna yang paling mendasar yang dapat diambil dari hal ini
(manusia sbg makhluk) adalah bahwa manusia memiliki kekurangan dan
keterbatasan. Sesungguhnya semua yang diciptakan oleh Allah memiliki kekurangan
dan keterbatasan. Sedangkan Allah Maha Sempurna, tidak memiliki kekurangan,
keterbatasan atau kelemahan.Yang menunjukkan hal tersebut adalah ucapan
“Subhanallah”, “Maha Suci Allah dari serba kekurangan dan keterbatasan”. Oleh
karena itu tidaklah pantas manusia sebagai ciptaan untuk menyombongkan dirinya.
Allahlah yang pantas untuk sombong, karena Allah adalah Dzat Yang Maha
Sempurna.
Allah swt memeberikan keutamaan lebih kepada manusia dari pada
makhluk yang lain. Manusia dilantik menjadi Abdullah dan Khalifatullah dimuka
bumi ini untuk memakmurkannya. Oleh karena itu dibebenkan kepada manusia amanah
Attaklif, dan diberikankan pula kebebasan dan tanggung jawab memiliki serta
memelihara nilai-nilai kemuliaan.
Kemuliaan yang diberikan bukanlah karena bangsanya, warna
kulitnya, kecancikannya, perawakannya, harta, derajatnya, akan tetapi
semata-mata karena iman dan dan taqwanya kepada Allah swt.
$pkr'¯»t â¨$¨Y9$# (#rßç6ôã$# ãNä3/u Ï%©!$# öNä3s)n=s{ tûïÏ%©!$#ur `ÏB öNä3Î=ö6s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇËÊÈ
21. Hai manusia,
sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar
kamu bertakwa,
Dan ayat 30
Î)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù `tB ßÅ¡øÿã
$pkÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB w tbqßJn=÷ès?
30. Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Allah swt juga menjelaskan hakikat ciptaan manusia
dalam surat
az-zariyat ayat 56 yang artinya “ Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku ”
- Hakikat Manusia
Hakikat manusia menurut al-Qur’an ialah bahwa
manusia itu terdiri dari unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani. Ketiga
unsur tersebut sama pentingnya untuk di kembangkan. Sehingga konsekuensinya
pendidikan harus di desain untuk mengembangkan jasmani, akal, dan ruhani manusia.
Unsur jasmani merupakan salah satu esensi ( hakikat ) manusia
sebagai mana dijelaskan dalam al-Qur’an surat
al-baqarah ayat 168 yang artinya “ Hai sekalian manusia makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat dari bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syetan karena sesungguhnya syuetan itu adalah musuh yang nyata
bagimu “
Akal adalah salah satu aspek terpenting dalam
hakikat manusia. Akal digunakan untuk berpikir, sehingga hakikat dari manusia
itu sendiri adalah ia mempunyai rasa ingin, mempunyai rasa mampu, dan mempunyai
daya piker untuk mengetahui apa yang ada di dunia ini.
Sedangkan aspek ruhani manusia di jelaskan dalam
al-Qur’an surat
al-Hijr ayat 29 yang artinya “ Tatkala aku telah menyempurnakan kejadiannya,
aku tiupkan kedalamnya ruhku.kedalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan
bersujud “
Dalam hal ini muhammad Quthub menyimpulkan bahwa eksistensi manusia adalah jasmani, akal, dan ruh, yang mana ketiganya menyusun manusia menjadi satu kesatuan.
Dalam hal ini muhammad Quthub menyimpulkan bahwa eksistensi manusia adalah jasmani, akal, dan ruh, yang mana ketiganya menyusun manusia menjadi satu kesatuan.
Definisi tentang manusia akan banyak kita jumpai
dalam berbagai literatur, terutama pada kajian filsafat dan antropologi.
Dalam bidang Humaniora, Dr. Alexis Carrel (peletak dasar humaniora
barat) mengatakan bahwa manusia adalah makhluq yang misterius, karena derajat
keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang
demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya.[2]
Sementara itu, Sastraprateja mendefinisikan manusia sebagai makhluq yang
historis. Menurutnya, hakikat manusia sendiri adalah suatu sejarah, suatu
peristiwa yang semata-mata datum. Hakikat manusia hanya dapat dilihat dalam
perjalanan sejarahnya, dalam sejarah perjalanan bangsa manusia.[3]
Lain halnya dengan al-Imam Ibnu Qayyim
al-Jauziyah, beliau mendefinisaikan manusia sebagai yang diciptakan dari satu
gumpalan yang Allah gumpalkan dari segala unsur tanah, yang tanah itu terdapat
segala unsur yang baik, yang kotor, yang mudah, yang sedih, yang mulia, dan
yang hina.[4]
Al-Imam Ibnu Qayyim mendefinisikan manusia pada hakikat penciptaannya.
Berangkat dari asal penciptaannya, terlihat bahwa berbagai potensi ada pada
diri seorang manusia. Potensi baik, buruk, hina, mulia termasuk angel
tendention dan devil tendention ada pada manusia.
- Manusia Memerlukan Pendidikan
Bagi filsafat pendidikan penentuan sikap dan
tanggapan tentang manusia merupakan hal yang amat penting dan vital. Sebab
manusia merupakan unsur terpenting dalam usaha pendidikan. Tanpa tanggapan dan
sikap yang jelas tentang manusia pendidikan akan merasa raba.
Bahkan pendidikan itu sendiri itu dalam artinya
yang paling asas tidak lain adalah usaha yang dicurahkan untuk menolong manusia
menyingkap dan menemukan rahasia alam memupuk bakat dan dan mengarahkan
kecendrungannya demi kebaikan diri dan masyarakat . usaha itu berakhir dengan
berlakunya perubahan yang di kehendaki dari segi social dan psikologis serta
sikap untuk menempuh hidup yang lebih berbahagia dan berarti.
Manusia mengalami proses pendidikan terus
berlangsung sampai mendekati waktu ajalnya. Proses pendidikan adalah life long
education yang dilihat dari segi kehidupan masyarakat dapat dikatakan ebagai
proses yang tanpa akhir.
Bila dipandang dari segi kemampuan dasar pedagogis, manusia
dipandang sebagai “homo edukadum” mahluk yang harus dididik, atau bisa disebut
“animal educabil ” mahluk sebangsa binatang yang bisa dididik, maka jelaslah
bahwa manusia itu sendiri tidak dapat terlepas dari potensi psikologis yang
dimiliknya secara individual berbeda dalam abilitas dan kapabilitasnya, dari
kemampuan individual lainnya. Dengan berbedanya kemampuan untuk dididk itulah
fungsi pendidikan pada hakikatnya adalah melakukan seleksi melalui proses
pendidikan atas pribadi manusia.
Dari segi sosial psikologis manusia dalam proses
pendidikan juga dapat dipandang sebagai mahluk yang sedang tumbuh dan
berkembangdalam proses komonikasi antara individualitasnya dengan orang lain
atau lingkungan sekitar dan proses membawanya kea rah pengembangan sosialitas
dan moralitasnya. Sehingga dalam proses tersebut terjadilah suatu pertumbuhan
atau perkembangan secara dealiktis atau secara interaksional antara
individualitas dan sosialitas serta lingkungan sekitarnya sehingga terbentuklah
suatu proses biologis, sosiologis, dan psikologis.[5]
- Manusia Bisa Dididik
Kemampuan belajar manusia sangat berkaitan dengan
kemampuan manusia untuk mengetahui dan mengenal terhadap obyek-obyek pengamatan
melalui panca indranya. Membahas kemampuan mengetahui dan mengenal tidak dapat
terlepas dari filsafat dalam bidang epistimologi. Karena filsfat ini
menunjukkan kepada kita betapa dan sejauh mana manusia dapat mengetahui dan
mengenal obyek-obyek pengamatan disekitarnya. Apa pengetahuan itu, cara
mengetahui, dan memperoleh pengetahuan serta berbagai jenis pengalaman indrawi.
Panca indera manusia adalah merupakan alat kelengkapan
yang dapat membuka kenyataan alam sebagai sumber pengetahuannya yang
memunkinkan dirinya untuk menemukan hakikat kebenaran yang diajarkan oleh
agamanya atau oleh Tuhannya. Panca indera manusia merupakan pintu gerbang dari
pengetahuan yang makin berkembang. Oleh karena itu Allah mewajibkan panca
indera manusia untuk digunakan menggali pengetahuan.
Dalam hal
ini islam lebih cenderung untuk menegaskan bahwa perpaduan antara kemampuan
jiwa dan kenyataan materi sebagai realita merupakan sumber proses “mengetahui”
manusia yang keduanya merupakan “kebenaran”menurut ukuran proses hidup
manusiawi bukan Ilahi. Kebenaran yang hakiki hanyalah Tuhan sendiri, dan
kebenaran hakiki inilah yang menciptakan segala kenyataan alami dan manusiawi
dengan diberi mekanisme hukum-hukumnya sendiri. Bila Ia
menghendaki mekanisme itu bisa di rubah menurut kehendaknya.
- Konsep Fitrah Manusia
Al-Qur’an memandang bahwa manusia adalah
makhluk biologis, psikologis dan sosial. Manusia sebagai basyar tunduk pada
taktir Allah, sama dengan makhluk lainnya. Manusia sebagai insan dan al-nas
bertalian dengan hembusan illahi atau roh Allah yang memiliki keterbatasan
dalam memilih untuk tunduk atau menentang takdir Allah. Pemikiran tentang
hakikat manusia dibahas dalam filsafat manusia. Agaknya, manusia sendiri tak
henti-hentinya memikirkan dirinya sendiri dan mencari jawab akan apa, dari mana
dan mau kemana manusia itu. Pemahaman yang tak utuh tentang manusia dapat
berakibat fatal bagi perl;akuan seseorang terhadap sesamanya, misalnya saja pandangan
bahwa manusia merupakan fase lanjutan dari spesies tertentu yang mengalami
evolusi dan natural selection, akan berimpikasi pada keyakinan bahwa manusia
akan terus berkembang menuju penyempurnaan spesies.
Meskipun Islam memandang dalam dua dimensi,
yakni jasad dan roh atau mateial dan spritual, lebih dari itu, Islam secara
tegas mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah, dapat
dididik dan mendidik, hamba Allah yang mulia, berfungsi sebagai pemimpin atau
pengelola bumi, dan terakhir dalam keadaan suci atau memiliki kecendrungan
menerima agama atau fitrah. Berbeda dengan binatang yang Cuma memiliki nafsu
dan insting hewani, nafsu yang ada dalam diri manusia diimbangi dengan potensi
akal untuk berfikir dan menimbang apakah sesuatu itu baik atau buruk,
membahayakan atau tidak, sedemikian hingga manusia dapat mengendalikan hawa
nafsunya tadi dan tidak berjerumus pada perbuatan tercela. Muslim kaffah
tidaklah identik dengan superman dan spideman yang ditokohkan sebagai pahlawan
pembela kebenaran dan kekuatan super tak terkalahkan. Gambaran manusia seperti
itu menyesatkan, karena disamping manusia memiliki keistimewaan juga memiliki
kelemahan.
Kesadaran bahwa manusia hidup didunia
sebagai makhluk ciptaan Allah dapat menumbuhkan sikap andap asor dan mawas diri
bahwa dirinya bukanlah tuhan. Oleh sebab itu ia melihat sesama manusia sebagai
sesama makhluk, tidak ada perhambaan antarmanusia. Jadi, seorang istri tidak
menghamba pada suami, dan seorang rakyat tidak menghamba pada pemerintah.
Baginya, yang patut menerima penghambaan dari manusia tak lain adalah Allah.
Justru, Allah tidak menciptakan manusia selain untuk menghamba atau beribadah
kepada-Nya. Oleh karena itu tidak berlaku konsep manusia sebagai homo homoni
lapas atau manusia sebagai pemangsa bagi manusia yang lain. Tidak ada
keistimewaan antara manusia dengan manusia yang lain kecuali karena
ketaqwaannya kepada Allah. Meskipun demikian, kelebihan dan kemuliaan manusia
tidaklah bersifat babadi, tergantung pada sikap dan perbuatannya. Jika manusia
tersebut berbuat kerusakan dan berakhlak madzmumah, karunia kemuliaan berupa
akal, hati dan panca inderanya tidak dipergunakan semestinya, maka predikat
kemanusiaannya turun ketingkat yang paling rendah, bahwa lebih rendah dari
hewan ternak. Disamping kelebihan, manusia memiliki aspek kelemahan misalnya
kikir, paling banyak membantah, penuh keluh kesah, memiliki hawa nafsu yang
mengajak pada kejahatan, mudah putus asa dan tidak berterimakasih. Sebagai
hamba Allah, manusia memikul tanggung jawab pribadi, orang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain. Dan pada hari kiamat nanti mereka datang kepada
Allah dengan sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa manusia sebagai hamba Allah
itu memiliki kebebasan individual atas dirinya sendiri namun tetap bertanggung
jawab atas segala perbuatanya.
Sebagai khalifah, manusia muslim
dimaksudkan tampil dibumi ini dengan wajahnya yang ramah dan anggun untuk
memimpin, mengelola dan memakmurkan bumi. Bila hal tersebut tidak dilakukan,
maka fungsi khalifah tadi dapat diambil oleh manusia dan golongan yang lain.[6]
Banyak yang mengartikan bahwa bayi yang lahir itu fitrah
artinya suci. Jiwa anak tersebut cenderung kepada agama tauhid. Ketika terjadi
penyimpangan dalam perkembangan anak itu untuk tidak lagi cenderung kepada
agama tauhid, para ulama berargumentasi bahwa hal itu disebabkan oleh beberapa
hal, antara lain:
- Pengaruh adat dan pergaulan (Mahmud Yunus)
- Pengaruh lingkungan (Al-Qur’an dan terjemahnya,
Depag)
- Pengaruh hawa nafsu dan kekuasaan (Bakri Syahid)
- Adanya pendidikan (A. Hassan)
- Guru dan mengajarnya (al-Maraghi)
- Perbuatan atau usaha kedua orang tuanya (H.R.
Bukhari Muslim)
Untuk pengertian suci, bersih, bukan berarti bahwa fitrah
disini sama dengan tabularasanya Jonh Locke (1632-1704). Meskipun fitrah punya
arti suci-bersih, tetapi fitrah tidak kosong. Fitrah berisi daya-daya yang
wujud dan perkembangannya tergantung pada usaha manusia sendiri. Oleh karena
itu fitrah harus dikembalikan dalam bentuk-bentuk keahlian, laksana emas atau
minyak yang terpendam di perut bumi, tidak ada gunanya kalau tidak digali dan
diolah untuk kegunaan manusia. Disinilah letaknya tugas utama pendidikan.
Sedangkan pendidikan sangat dipengaruhi faktor pembawaan dan lingkungan
(nativisme dan empirisme). Namun ada perbedaan esensial antara pendidikan islam
dengan pendidikan umum. Pendidikan islam berangkat dari filsafat
pendidikan theocentric, sedangkan pendidikan umum berangkat dari filsafat
anthropocentric.
Theocentric memandang bahwa semua yang ada diciptakan oleh
Tuhan, berjalan menurut hukum-Nya. Filsafat ini memandang bahwa manusia
dilahirkan sesuai dengan dengan fitrah-Nya dan perkembangan selanjutnya
tergantung pada lingkungan dan pendidikan yang diperoleh. Sedang seorang
pendidik atau guru hanya bersifat membantu, serta memberikan
penjelasan-penjelasan yang sesuai dengan tahap perkembangan pemikiran dan
akhirnya pelajar sendirilah yang belajar. Sedangkan filsafat anthropocentric
lebih mendasarkan ajarannya pada hasil pemikirin manusia dan berorientasi pada
kemampuan manusia dalam hidup keduniawiyan.
Sehubungan dengan ini, maka persamaan dan perbedaan
pendidikan islam dan aliran empirisme ialah: pertama, keduanya sepakat
bahwa anak yang baru lahir adalah bersih dan suci, ibarat kertas putih yang
siap ditulis oleh pendidik. Kedua, karena adanya perbedaan konsep
antara fitrah dengan teori tabularasa, maka peranan pendidik dalam konsep
pendidikan islam lebih terbatas dibandingkan dengan peranan pendidik dalam
aliran empirisme, dalam membentuk dan mengembangkankepribadian anak didik
tersebut.
Persamaan dan perbedaan pendidikan islam dengan aliran
nativisme: pertama, keduanya mengakui pentingnya faktor pembawaan,
sehingga anak didik berperan besar dalam membentuk dan mengembangkan
kepribadiannya. Kedua, dalam pendidikan islam karena adanya nilai
agama yang memiliki kebenaran mutlak, maka pendidik bukan hanya sekedar
pembantu tetapi ia bertanggungjawab akan terbentuknya kepribadian muslim pada
anak didik.
Persamaan dan perbedaan pendidikan islam dengan
konvergensi: pertama, keduanya mengakui pentingnya factor endogen dan
eksogen dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian anak didik. Kedua,
perbedaannya, dalam islam kemana kepribadian itu harus dibentuk dan
dikembangkan sudah jelas, yaitu ma’rifatullah dan bertakwa kepada-Nya.sedangkan
dalam pendidikan yang berdasarkan anthropocentric pembentukan dan pengembangan
kepribadian diarahkan untuk mencapai kedewasaan dan kesejahteraan hidup
didunia.
Berbeda dengan faham materialisme (faham kebendaan) yang
meyakini bahwa manusia mati berarti hilangnya eksistensi manusia secara total.
Dalam islam, sebagaimana disampaikan oleh Mastuhu, fitnah manusia itu setelah
mati akan kembali kepada Allah SWT. Upaya pengembangan fitrah manusia dalam
seluruh aspek yang meliputi spiritual, intelektual, dan keterampilan yang
dapat dimanfaatkan untuk kemajuan dan kesejahteraan hidup (individu dan
sosial) dalam tugasnya sebagai khalifah Allah SWT, diwujudkan dalam rangka
memenuhi tujuan yang satu yaitu mengabdi kepada-Nya. Oleh karena itu
fitrah harus tetap dikembangkan secara wajar bila mana mendapatkan bimbingan
yang dijiwai oleh wahyu. Tentu saja hal ini harus didorong dengan pemahaman
islam secara kaffah. Semakin tinggi tingkat interaksi seseorang dengan islam
semakin baik pula perkembangan fitrahnya.
Dalam
ketentuannya-Nya, Allah menunjukkan dua macam jalan, yaitu jalan yang benar dan
jalan yang sesat, dan manusia diberi kebebasan untuk memilih antara dua
jalan tersebut. Atas dua macam jalan ini ada kalanya manusia itu bersyukur, ada
kalanya manusia itu kufur atau mengingkari kebenaran yaitu memilih jalan yang
sesat. Ketentuan Allah menunjukkan bahwa setiap manusia diberi dua
kecenderungan, yaitu kecenderungan nafsu untuk menjadikannya kafir yang ingkar
terhadap tuhannya dan kecenderungan yang membawa sikap bertaqwa menaati
perintah-Nya. Ayat ini dapat dijadikan sumber pandangan bahwa usaha
mempengaruhi jiwa manusia melalui pendidikan dapat berperan positif untuk
mengarahkan perkembangan kepada jalan kebenaran yaitu islam, dengan tanpa
melalui usaha pendidikan. Manusia akan terjerumus kejalan yang salah atau sesat
yaitu kafir, dengan kata lain mengingkari “fitratallah”,
meskipun ketentuan Allah itu bukan suatu paksaan.
Jelaslah
bahwa faktor kemampuan memilih yang terdapat didalam fitrah manusia
(human nature) berpusat pada kemampuan berfikir sehat (berakal sehat), karena
akal sehat mampu membedakan hal-hal yang benar dari yang salah. Sedangkan
seseorang yang mampu menjatuhkan pilihan secara tepat hanyalah orang yang
berpendidikan sehat. Dengan demikian berfikir benar dan sehat adalah merupakan
fitrah yang dapat dikembangkan melalui pendidikan dan latihan. Sejalan dengan
interpretasi ini maka dapat dinyatakan bahwa pengaruh faktor lingkungan yang
disengaja yaitu pendidikan dan latihan berproses secara interaktif dan linier
dengan kemampuan fitrah manusia. Dalam pengertian ini pendidikan islam
berproses secara konvergensis (convergen: bertemu, berpadu), yang dapat membawa
kepada faham konvergensi dalam pendidikan islam.
- Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa
pada hakikatnya Allah swt menciptakan manusia di muka bumi ini adalah
semata-semata untuk mengabdi kepada-Nya dan untuk menjadi khalifah dimuka bumi.
Hakikat penciptaan manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu unsur jasmani, unsur
akal, dan unsur ruhani, yang mana ketiga unsur tersebut menjadi satu kesatuan
pada diri manusia.
Sebagai makhluk yang dibekali dengan berbagai kelebihan jika dibandingan
denagn makhluk lain, sudah sepatutnya manusia mensyukuri anugrah tersebut
dengan berbagai cara, diantaranya dengan memaksimalkan semua potensi yang ada
pada diri kita. Kita juga dituntut untuk terus mengembangkan potensi tersebut
dalam rangka mewujudkan tugas dan tanggung jawab manusia sebagai makhluk dan
khalifah di bumi.
[2] Prof. Dr. Abuddin Nata, MA, Filasafat
Pendidikan Islam, Gama Media Pratama: Jakarta, (2005), Hal: 81
[4] Anas Abdul Malik al-Quz, Ibnu Qayyim
Berbicara tentang Manusia dan Semesta, Pustaka Azzam: Jakarta, (2001), Hal:
21
[5] Ahmad Tafsir., Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam .(Bandung :: PT. Remaja Rosdakarya., 2001). Hlm 31
[6] Zuhairini.
Dra, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II,( Jakarta : Bumi
Aksara, 1995).hlm. 71-75